A.
Pendahuluan
Syi’ah, mendengar kata tersebut tentu kita akan langsung teringat
kepada Ali bnin Abi Thalib. Seakan Syi’ah telah melekat dengan adanya Ali.
Banyak perbedaan pendapat mengenai kenapa dan mengapa dinamakan syi’ah. Hal
itulah yang akan menjadi salah satu bagian dari pembahasan ini. Namun yang
telah pasti dan sebagian besar masyarakat mengakui adalah bahwa Syi’ah adalah
pengikut atau pendukung setia Ali. Kelompok ini menekankan adanya Ahlul Bait
dalam pemilihan seorang pemimpin.
Awal munculnya aliran ini juga masih menjadi perdebatan. Namun
kelompok ini lebih terkenal setelah terjadinya perang Shiffin. Pada
perkembangannya kelompok ini mempunyai aliran ideologi politik yang berbeda
dengan kelompok lain. Imamah adalah salah satu dari aliran ideology syi’ah. Imam
dipilih dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Pada perkembangnnya kelompok ini
terpecah dalam berbagai kelompok kecil. Akan tetapi tetap mengunakan ideologi
politik imamah.
Ada tiga ideologi politik yang bisa dikatakan melekat dengan
kelompok syi’ah. Ideologi politik itu adalah: Imamah, Wilayat, dan ishmah.
Tiga ideologi ini sepertinya tidak akan bisa lepas dari kelompok syi’ah, karena
ini bagian penting syi’ah. Syi’ah sebuah
kelompok yang besar, tentu didalamnnya ada perbedaan pendapat yang terjadi,
sehingga menimbulkan perpecahan.
B.
Pengertian Syi’ah
Syi’ah, kata ini tidaklah asing bagi para pengkaji sejarah Islam.
Dalam kamus, kata “syi’ah” berarti “golongan”. Ia berasal dari
kata “syaya’a” yang berarti “mengikuti”.[1]
Syayid Husein Tabataba’i berkata, bahwa kata “syi’ah” berarti “partisan”
atau “pengikut”.[2]
Dengan makna seperti itu maka kata “syi’ah” mengandung pengertian
sebagai “golongan”, “pengikut”, atau “partisan”.[3]
Syi’ah menurut bahasa berarti sahabat dan pengikut. Para fuqoha dan mutakallimin,
baik khalaf maupun salaf, mengertikan syi’ah sebagai pengikut Ali dan
putra-putranya.[4]
Namun jika dilihat dari segi istilah, kata “syi’ah” berarti
“golongan atau pengikut Ali bin Abi Thalib” atau “ sekelompok orang yang
bersimpati dan menjadi pengikut Ali”.[5] Di
dalam pengertian yang dapat diterima secara umum sampai sekarang, kata “syi’ah”
lebih di identifikasikan sebagai suatu golongan yang menjadi pengikut atau
pendukung Ali bin Abi Thalib, atau lebih tepatnya, sebagai pengikut dan
pendukung mazhab Ahlul Bait.
C.
Perkembangan Syi’ah
Sejauh ini, dikalangan para sejarawan masih terjadi perbedaan
pendapat tentang kapan munculnya faham Syi’ah. Ada yang berpendapat bahwa
syi’ah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. [6]
Pendapat tersebut tentunya tidak tanpa alas an. Pada saat Nabi sedang sakit
al-Abbas mendesak Ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan ditunjuk
sebagai pengantinya. Ali menolak hal itu karena khawatir Nabi akan menunjuk
orang lain sehingga menutup kemungkinan baginya untuk memangku jabatan
khalifah, selain itu Ali belum yakin sakitnya Nabi itu berakhir dengan
kewafatannya.[7]
Namun, pendapat yang popular dan sepertinya lebih bisa diterima adalah bahwa,
syi’ah mulai muncul setelah wafatnya nabi Muhammad SAW, terutama pada masa
kekhalifahan Ustman bin Affan, tumbuh dan berkembang pada masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Memasuki masa pemerintahan Ustman bin Affan isu tentang syi’ah
kembali mencuat. ‘Abdullah bin Saba’, seorang asal Yahudi dengan maksudnya
sendiri, berkempanye bahwa hak Ali telah di rampas oleh orang lain. Secara
kronologis, sejarah lahirnya syi’ah dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sejarah mencatat, bahwa hari-hari pertama setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, persoalan yang timbul adalah persoalan kekuasaan, yaitu
menyangkut figur yang dianggap paling pantas menggantikan kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW. Meskipun masalah itu untuk sementara waktu berhasil diselesaikan
dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah, akan tetapi hal itu oleh sebagian
kelompok dipandang masih menyisakan agenda persoalan.
Reaksi keras segera dimunculkan oleh para pendukung Ali yang
mengklaim bahwa masalah kepemimpinan adalah hak mutlak Ali dan keturunannya
atau Ahlul Bait, yang diyakini para pendukungnya dimana Ali telah menerima
wasiat pengangkatan langsung dari Nabi Muhammad SAW.[8] Wasiat ini diberikan sekitar 80 hari sebelum
Nabi Muhammad meninggal, disuatu tempat yang bernama Ghadir Khum. Tetapi dalam
kenyataannya, Ali justru baru memegang tampuk kepemimpinan setelah sebelumnya
dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan. Oleh karena
adanya keyakinan bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi, dan oleh karena itu
tentu ia yang paling berhak mengantikan Nabi setelah wafatnya beliau, maka sekelompok
orang yang kemudian dikenal dengan sebutan syi’ah, tidak mau menerima hasil
yang dicapai dalam pemilihan di suatu tempat yang bernama Saqifah yang
mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah mengantikan Nabi Muhammad SAW.
Wafatnya khalifah Ustman bin Affandi tangan para pemberontak yang
dating dari Mesir dan Irak, membuka kesempatan bagi Ali untuk tampil sebagai
khalifah. Beberapa hari setalah wafatnya khalifah Ustman bin Affan, Ali
kemudian diangkat oleh mayoritas kaum muslimin untuk menjadi khalifah mengantikan
khalifah Ustman. Pada masa pemerintahannya muncul du pemberontakan; Pertama,
dilancarkan oleh tiga serangkai yaitu Aisayah, Thalhah dan Zubaer. Pertempuran
antara kelompok Ali dan kelompok tiga serangkai ini dikenal dengan sebutan “Perang
Jamal” atau “ Perang Unta”. Kedua, dilancarkan oleh Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, seorang Gubernur Damaskus dan masih tergolong kerabat dekat Ustman.
Mu’awiyah menggugat keabsahan kepemimpinan Ali dan melontarkan tuduhan bahwa
Ali berkomplot dengan kaum pemberontak dan diaggap paling bertanggungjawab atas
tumpahnya darah Ustman.[9] Perselisihan
ini terus berlengsung sampai terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib di tangan
ekstrimis bernama Abdurrahman bin Muljam pada tahun 40 H.
Setelah meninggalnya khalifah Ali, pemerintahan sempat dipegang
oleh putra Ali yang bernama Hasan bin Ali. Namun setelah melalui perjanjian,
akhirnya pemerintahan jatuh ke tangan klan Bani Umayah. Pada masa ini, gerakan
kaum syi’ah mengalami perkembangan cukup pesat. Gerakan ini mencapai puncak
konsolidasinya yang paling nyata ketika Bani Umayah dibawah kepemimpinan Yazid
membantai keluarga Nabi di Padang Karbala. Syahidnya Husein putra Ali bersama
keluarganya di Padang Karbala, merupakan kemenangan politik bagi kebangkitan
Syi’isme. Peristiwa tersebut telah menarik simpati sebagian besar kaum muslimin
kepada syi’ah dan menumbhkan kebencian yang luar biasa terhadap klan Umayah.[10]
Namun, penting untuk dicatat dan dipahami, bahwa jauh sebelum
munculnya sikap oposisi Husein terhadap pemerintahan Bani Umayah, telah ada
satu peristiwa yang juga ikut andil membentuk identitas syi’isme. Sebagaimana
dijelaskan Sayid Husein Muhammad Jafri, bahwa Hujr bin Adi al-Kindi dan
kawan-kawannya tidak pernah menyerah atas ide Syi’i. Mereka keluar dan
memberontak terhadap Mu’awiyah dan panglimanya Ziyad bin Abu Sufyan yang
memerintah Kuffah dan Basrah. Dikatakan bahwa para Syi’I yang gigih ini
memperotes atas pengutukan Ali yang dilakukan secara gencar oleh Mu’awiyah dan
menolak kepemimpinan siapapun kecuali keluarga Ahlul Bait. Akan tetapi,
pemberontakan Hujr ini dengan mudah dapat ditumpas dan Hujr sendiri bersama
enam kawannya ditangkap. Mu’awiyah menyodorkan tawaran menarik kepada mereka:
bahwa jika Hujr dan enam kawannya bersedia mengutuk Ali di depan umum, mereka
tidak akan dibunuh. Tetapi nyatanya Hujr dan enam kawannya memilih mati di
pancung dari pada harus mengutuk Ali.[11]
Kenyataan bahwa Hujr dan enam kawannya rela mengorbankan nyawanya
dari pada harus mencela Ali, begitu juga “drama” Karbala yang dipentaskan
Husein dan anggota keluarganya, merupakan masalah yang tidak dapat dipandang
sepele. Pasti ada makna yang lebih dalam dari sekedar kepentingan politik.
Sejarah agama sering berisi tentang manusia-manusia yang lebih memilih mati
dari menganti keyakinan mereka, dan sejarah manusia tidak dapat diterangkan
hanya dengan acuan politik belaka.
Husein tahu, bahwa apa yang dipertaruhkan adalah perjuangan antara
kebenaran dan kebatilan, serta yakin bahwa kebenaran telah nyata, maka tidak
perlu digunakan taktik licik dan strategi. Dalam kenyataannya sikap
revolusioner Husein telah membentuk spiritualisme Syi’ah yang progresif.
Menurut Hamid Enayat, tragedi Husein telah menjelma menjadi “tumor ganas” dalam
tubuh politik Bani Umayah. Yazid wafat karena merana empat tahun setalah
tewasnya Husein, semua pelaku kejahatan Karbala memperoleh hukumannya
masing-masing. Enam puluh tahun kemudian Bani Umayah tumbang.[12]
Begitu juga eksekusi Hujr oleh algojo Mu’awiyah membangkitkan
gelombang duka dan goncangan kota-kota suci. Aisyah, janda Nabi Muhammad dan
Abdulah bin Umar dengan keras memperotes eksekusinya. Dukungan dan simpati
mengalir dari berbagai daerah untuk memperotes tindakan Mu’awiyah tersebut.[13]
Masih ada dua gerakan perlawanan yang perlu dicatat, yaitu
perlawanan Zaid bin Ali (cucu Husein bin Ali) dan perlawanan Muhammad Nafsun
Zakiyah (keturunan Hasan bin Hasan bin Ali). Pemberontakan Zaid bin Ali
dicetuskan pada tahun 122 H, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dan Zaid
sendiri wafat sebagai Syahid.[14]
Pemberontakan Nafsun Zakiyah terjadi pada tahun 145 H dan sempat menggoncangkan
kekuasaan al-Mansyur dari Dinasti Abbasiyah, dan sebagaimana pemberontakan
Zaid, gerakan ini pun berhasil ditumpas oleh kekuatan al-Mansyur.[15]
Sikap perlawanan yang ditampilkan oleh para imam Syi’ah ini banyak
mendapatkan simpati dari para ulama pada saat itu. Dalam pemberontakan Zaid,
Imam Abu Hanifah memberikan bantuan material dan ia menasehati rakyat untuk
berjuang disisi Zaid. Ia mengibaratkan pertempuran itu seperti pertempuran
Rasulullah dalam perang Badar.[16]
Begitu juga dalam pemberontakan Nafsun Zakiyah, Abu Hanifah mendukung gerakan
tersebut secara terang-terangan dan ia memfatwakan bahwa pemberontak bersamanya
lebih utama dari haji sunah lima puluh atau tujuh puluh kali.[17]
Sikap Imam Malik dalam hal ini juga tidak jauh berbeda dengan sikap
Abu Hanifah. Ketika sedang berlangsung pemberontakan Nafsun Zakiyah, ia
memfatwakan bahwasannya bai’at yang dilakukan secara paksa oleh al-Mansyur
semuanya adalah batal dan tidak sah.[18]
Fatwa ini mengandung pengertian, bahwa rakyat tidak perlu lagi setia atau taat
kepada pemerintahan al-Mansyur karena dipandang telah menyimpang dari ajaran
agama.
Apa yang hendak dikatakan dari uraian diatas adalah bahwa berbagai
pemberontakan ini ditunjukkan bahwa identitas Syi’isme pada masa tersebut telah
mengalami konsolidasi yang cukup kuat. Tapi dalam waktu yang bersamaan,
anak-anak keturunan Husein juga banyak melakukan “aksi diam” semenjak
terjadinya tragedi Karbala dan lebih mencurahkan perhatiannya untuk mendalami
ilmu keagamaan. Dua bentuk aktifitas ini, pada tahap perkembangannya telah
membentuk dua identitas Syi’ah, yakni gerakan politik dengan kekuatan senjata
dan gerakan cultural (budaya) yang lebih menekankan pada aspek pemikiran dan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan dibidang agama.
D.
Ideologi Politik Syi’ah
1.
Imamah
Imamah menurut al-Mawardi adalah “suatu lembaga kepala Negara dan
pemerintah yang diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam rangka menjaga
agama dan mengatur dunia.”[19]
Kepemimpinan dalam konteks ini dianggap sebagai pewaris sah pelanjut
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat.
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Ali Syari’ati:
Imamah
adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang berbeda dengan rezim-rezim
lainya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang
benar dan kuat, yang bakal mengerahkan manusia menuju kesadaran, pertembuhan
dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[20]
Di
dalam paham Syi'ah, imamah (kepemimpinan) memiliki makna yang lebih khusus,
karena di dalamnya kepemimpinan dibatasi hanya sebagai hak mutlak Ahlul Bait,
yaitu Ali dan keturunannya. Dengan batasan semacam itu, maka model kepemimpinan
dalam imamah didasarkan pada sistem "penunjukan" Nabi SAW kepeda Ali
dan turun-menurun oleh keturunannya.
Dalam argumentasi kaum Syi'ah,
masalah imamah merupakan masalah yang sangat penting, sehingga tidak mungkin
hanya diserahkan kepada umat untuk memutuskannya, melainkan harus melibatkan
seorang manusia yang memiliki kualitas lebih untuk memutuskannya. Di sinilah
peran aktif Nabi SAW yang menunjuk Ali sebagai penggantinya dipandang sebagai
suatu langkah rasional. Tak masuk akal, demikian kata Tabataba'i, bahwa Nabi
SAW meninggal tanpa mengangkat seorang pengganti, padahal setiap Nabi SAW
berhalangan untuk memimpin suatu urusan, Nabi SAW selalu mengangkat wakil,
seperti dalam ekspedisi perang dan sebagainya, dan bahkan ketika Nabi SAW
berhalangan untuk memimpin shalat, Nabi juga menunjuk salah satu sahabat untuk
menggantikannya.[21]
Atas dasar itu Tabataba'i
mempertanyakan, mungkinkah dalam urusan yang begitu penting (kepemimpinan),
Nabi SAW membiarkannya dan menyerahkan urusan di tangan umat?[22]
Pertanyaan ini menyiratkan adanya suatu formulasi sistematis yang dilakukan
secara sadar mengenai tatanan sosial-politik di mana masyarakat tidak punya hak
untuk berpartisipasi dalam pemilihan seorang pemimpin dan menghapus sama sekali
peran aktif mereka di dalamnya, dengan suatu argumen bahwa inspirasi Ilahiah
yang disalurkan melalui suara Nabi SAW akan menjadikan peran dan keputusan yang
mereka ambil mubadzir.[23]
Alasan yang seringkali digunakan
adalah bahwa masalah kepemimpinan umat adalah masalah yang terlalu vital untuk
diserahkan begitu saja pada musyawarah manusia-manusia biasa yang bisa saja
memilih orang yang salah untuk kedudukan tersebut. Hanya Allah-lah yang bisa
mengenali individu-individu yang memiliki sifat-sifat berilmu, tidak cacat dan
tidak mungkin keliru (ma'shum), dan dengan demikian dapat menjamin
kajayaan wahyu-wahyu-Nya dengan menjadikan individu-individu tersebut dikenal melalui Nabi SAW.[24]
Ali Syari'ati, seorang cendekiawan
yang sering disebut-sebut sebagai salah
seorang "arsitek" revolusi Islam Iran tahun 1979, menyatakan
bahwa tugas seorang imam di sini jauh lebih penting daripada bentuk
kepemimpinan apa pun. Menurutnya, imamah pada dasarnya merupakan perwujudan
dari "risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat"
dari "apa yang kini ada" (dassein) menuju "apa yang
seharusnya ada" (dassolen) semaksimal apa yang bisa dilakukan,
bukan berdasarkan pada keinginan pribadi seorang imam, melainkan atas konsep
yang baku yang menjadi kewajiban bagi imam lebih dari individu lainnya.[25]
Dengan kata lain, tugas seorang imam
tidak hanya terbatas pada memimpin umat manusia dalam salah satu aspek politik,
kemasyarakatan dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masalah-masalah
tertentu seperti tugas-tugas seorang amir atau khalifah, tetapi tugasnya adalah
menyampaikan kepada umat manusia semua aspek kehidupan yang bermacam-macam.[26] Jadi sifatnya sangat multidimensional.
2.
Wilayat
Menurut
A. Syarafuddin al-Musawi, makna yang terkandung dalam kata "wilayat"
adalah "orang yang memiliki kekuasaan".[27]
Murtadla Mutahhari mengatakan bahwa kata "wala,"
"walayah," "wilayah," "wali," dan "maula",banyak
sekali disebut di dalam Qur'an. Sebagai kata kerja disebut 124 kali dan sebagai
kata benda disebut 112 kali. Hal ini menunjukkan bahwa Qur'an memandang penting
masalah wilayat.[28]
Di
dalam Qur'an, menurut Murtadla Muthahhari, dibedakan antara dua jenis wala:
wala negatif dan wala posistif. Umat Islam diperintahkan untuk
melaksanakan wala positif dan menghindari wala negatif. Wala positif mempunyai dua bentuk: umum dan khusus. Yang
khusus dibagi lagi menjadi beberapa kategori: wala sebagai Ahlu Bait, wala
sebagai imamah, wala sebagai kepemimpinan dan wala sebagai
kemampuan mengendalikan atau mendominasi hal-hal yang adialami atau adikodrati.[29]
3.
Ishmah
Di
dalam mazhab Syi'ah, yang dimaksudkan dengan ismah atau kema'shuman
adalah penjagaan atau perlindungan Tuhan terhadap Ahlul Bait (Ali dan sebelas
keturunannya) dari perbuatan salah dan dosa. Dengan pengertian seperti ini,
maka Ali dan sebelas keturunannya merupakan manusia-manusia pilihan Tuhan yang
tidak mungkin berbuat salah dan melakukan dosa, karena mereka telah mendapatkan
perlindungan dan penjagaan dari Tuhan.
Faktor
penting yang menjadi dasar logika masalah ishmah para imam ini adalah,
bahwa mereka ini ditempatkan sebagai pewaris misi kenabian, dalam hal untuk
membimbing umat dari jalan yang sesat menuju kebenaran, sebagaimana yang
dikehendaki Allah. Hal ini juga berarti bahwa para imam adalah manusia yang
paling "berhak" untuk menafsirkan dan menjaga kemurnian ajaran agama,
sebagaimana tugas yang dibebankan kepada Nabi SAW. Berkaitan dengan persoalan
ini Murtahdla Mutahhari menegaskan:
Jika diakui bahwa imamah adalah suatu tambahan kepada kenabian guna
menguraikan agama, maka menjadi pasti bahwa keberadaan seorang imam itu
merupakan suatu keharusan dan imam itu ma'shum dengan alasan yang sama
seperti Nabi. Jika seseorang mengatakan bahwa kema'shuman seorang imam tidak
begitu penting, karena jika ia membuat suatu kesalahan mungkin beberapa orang
lainnya dapat diberitahukan kesalahannya, maka kami akan mengatakan bahwa dalam
hal itu orang yang lain itu akan memerlukan lagi orang yang lainnya untuk
mengawasinya dan demikian seterusnya. Pada akhirnya kami tentu saja akan
membutuhkan sang pelindung hukum Islam yang ma'shum. Lantas apabila imam
itu dapat berbuat kesalahan, maka akan menjadi tugas yang lainnya untuk
membimbingnya dengan benar, sementara tugas umat adalah mengikutinya, bukan
membimbingnya. Dua hal ini tidaklah konsekuen satu sama lain.[30]
Dari
sudut pandang ini nampak jelas bahwa kema'shuman yang dimiliki oleh imam sama
halnya dengan kema'shuman yang dimiliki oleh Nabi SAW, meskipun dengan demikian
bukan berarti bahwa para imam adalah sama dengan Nabi SAW.[31]
Akan tetapi, hal itu menunjukkan bahwa masalah imamah adalah semata-mata hak
mutlak Tuhan, sebagaimana juga halnya dengan hak Tuhan untuk mengangkat
seseorang menjadi Nabi, dan karena itu manusia tidak mempunyai kewenangan
apa-apa untuk ikut campur dalam menentukan masalah tersebut. Jika seorang Nabi
diangkat oleh Allah melalui Nabi SAW dan sekaligus memperkenalkannya kepada
umat manusia, maka demikian juga halnya dengan pengangkatan seorang imam yang
dilakukan Allah melalui Nabi SAW.
Dalam
pandangan kaum Syi'ah, masalah kema'shuman merupakan masalah yang sangat
penting. Hal ini erat hubungannya dengan masalah imamah. Jadi, karena imamah
merupakan hal yang sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan upaya
menjaga realisasi dan pelaksanaan hukum-hukum Allah di muka bumi, maka masalah
kema'shuman menjadi masalah yang sangat penting, karena hanya di tangan para
imam yang ma'shum itulah, maka hukum-hukum Tuhan tersebut dapat direalisasikan
pelaksanaannya dengan cara yang murni dan sempurna.
Masalah
pelaksanaan hukum-hukum Tuhan ini, erat hubungannya dengan gagasan tentang
penciptaan suatu masyarakat yang adil. Dalam Qur'an sendiri, seperti
ditunjukkan oleh Sachedina, bahwa tidak ada sesuatu lain yang mampu menandingi
penekanan yang diberikan pada masalah seputar menegakkan keadilan. Sasaran
utama wahyu Allah ini menurutnya adalah menegakkan suatu tatanan masyarakat
yang adil, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW, dan upaya untuk merealisasikan
gagasan tersebut, tegas Sachedina, sangat bergantung pada pemimpin yang secara
implisit mendapatkan bimbingan dari Allah.[32]
Oleh
karena itu, sangat bisa dipahami jika dalam tradisi Syi'ah, pelaksanaan al-qadha
(pemutusan suatu perkara) dipandang sebagai hak konstitusional para imam,
disebabkan oleh wilayat al-Ilahiyyah (otoritas Ilahi) yang diberikan
kepada imam melalui penunjukan Nabi SAW kepada Ali.[33]
Disuntikkannya dimensi ketuhanan dalam aspek imamah inilah yang menjadikan para
imam sering divisualisasikan sebagai mewakili transendensi Tuhan di muka bumi.[34]
E.
Aliran dalam Syi’ah
Dalam
perkembangannya hingga saat ini syi’ah terbagi dalam berbagai kelompok atau
golongan. Beberapa golongan antara lain:
1.
Syi’ah
Zaidiyah
Aliran
ini tergolong Syi’ah moderat yang mengakui keabsahan Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan Usman bin Affan sebagai khalifah, hanya saja tidak mengakui
sebagai imam, karena imam yang paling utama hanya Ali Ibn Abi Thalib, Hasan bin
Ali, Husein bin Ali dan Zaid bin Ali. Mereka mempunyai empat rukun yaitu
tauhid, nubuwah (kenabian), ma’ad (alam akhirat) dan imamah.
2.
Syi’ah
Isna’Asyariyah
Sering
disebut sebagai Syi’ah imamiyah yang meyakini 12 imam yaitu: Ali Ibn Abi
Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir,
Ja’far as- Shidiq, Musa al-Kadzim, Ali ar-Ridha, Muhammad Jawwad, Ali al-Hadi,
Hasan al-Askari dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar atau biasa dikenal dengan
Imam Mahdi.[35]
Mereka adalah pewaris Rasulullah yang dalam Islam sebagai pemilik
kebijakan-kebijakan khusus dan kedudukan (maqam)
yang tidak dimiliki orang lain. Aliran ini memakai al-Qur’an dan hadist sebagai
sumber utama, tetapi hadist yang mereka terima hanyalah hadist yang sanadnya
kembali ke Ahlul Bait.[36]
Dua kedudukan
yang mereka miliki didasarkan pada:
a.
Ayat:
$yJ¯RÎ) ßÌã ª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# @÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãur #ZÎgôÜs? ÇÌÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahllul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS:
al-Ahzab, 33).[37]
Mereka
memiliki kedudukan suci dan sesuai dengan itu dosa tidak mungkin timbul dari
mereka.[38]
1)
Sesuai
dengan hadist Rasulullah yang dikenal dengan sebutan hadist Tsaqalain[39]
yang berbunyi:
انّي تا رك فيكم الثقلين: كتاب الله وعثرتى
Artinya: “Aku
tinggalkan diantara kamu dua hal yang berharga; yaitu kitabullah dan para
keturunanku yang terpilih”.
3.
Syi’ah
Sab’iyah (Isma’iliyah)
Golongan
ini memiliki tujuh orang imam, tetapi imim yang ketujuh bukan Musa al-Khazim
tetapi Isma’il. Munculnya Syi’ah tujuh ini disebabkan oleh perbedaan dalam
menafsirkan surat wasiat Ja’far as-Shadiq dalam menentukan penggantinya. Dalam
surat itu imam Ja’far menunjuk putra sulungnya yaitu Isma’il sebagai
penggantinya, akan tetapi Isma’il meninggal terlebih dahulu dari pada ayahnya.
Masalahnya timbul karena ada yang meyakini bahwa wasiat seorang imam tidak
dapat diubah.
Kelompok
ini mempercayai bahwa Isma’il sebagai imamnya. Mereka meyakini bahwa imam
mereka masih hidup dan bersembunyi di suatu tempat. Berbeda dengan Imam
al-Muntazhar yang bersembunyi ketika berumur 6 tahun sedang Isma’ail
bersembunyi ketika mempunyai seorang anak.[40]
F.
Kesimpulan
Syi’ah
adalah pengikut atau partisan atau pendukung Ali bin Abi Thalib. Jadi Aliran
syi’ah adalah kelompok yang mendukung Ali dengan alasan hubungan kekeluargaan
dengan Nabi Muhammad. Aliran ini mencuat ketika perang Shiffin yang
mempertmukan kelompok Ali dan Mu’awiyah. Namun benih dari syi’ah telah ada
pasca wafatnya Nabi.
Imamah,
wilayat, dan Ishmah adalah ideologi politik dari faham ini. Faham ini
berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak hanya terkait dengan dunia, tapi juga
akhirat. Sebagai seorang pemimpin juga dituntut untuk bisa menguasai atau
mempunyai hak untuk mentafsirkan al-qur’an. Kema’shuman dari seorang pemimpin
itu sangat penting bagi faham ini. Hal itu berkaitan erat dengan Imamah.
Pada
perkembangannya aliran ini terpecah menjadi beberapa golongan atau kelompok.
Diantaranya adalah: Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Isna’Asyariyah, Syi’ah Sab’iyah
(Isma’iliyah). Adanya kelompok ini tentu terjadi karena perbedaan pandangan dan
seiring berjalannya waktu.
Daftar
Pustaka
Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005
Aceh, Abubakar, Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Solo:
Ramadhani, 1998
Enayat,
Hamid, Reaksi Politik Sunni-Syi’ah, terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka,
1988
Imani,
Mahdi Faqih, Mengapa Musti Ali?, terj. Muhammad Babul Ulum dan Ali
Sibramalisi. Jakarta: Citra, 2006.
Jafri,Sayid
Muhammad Husein, Dari Saqifah sampai Imamah, terj. Meth Kierena.
Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989.
Khaldun,
Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2011
Maududi,
Abul ‘Ala, Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir. Bandung: Mizan,
1987.
Mawardi,
Imam Abu Hasan, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,
terj. Kartami dan Nurdin. Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Munawwir,
Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: PP. Krapyak, 1990
Musawi,
A. Syarifuddin, Dialog Sunnah-Syi’ah, terj. Muhammad Baqir. Bandung:
Mizan, 1990
Muthahari,
Murthado, Imamah dan Khalifah, terj. Satrio Panandito. Jakarta: Firdaus,
1991
Najjar,
Fauzi M, Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam. al-Hikmah, Oktober 1990
Nasution,
Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspek. Jakarta: UI Press, 2002
Rahmad,
Jalaludin, Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1991
Sachedina,
Abdul Aziz A, Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syi’ah, terj. Ilyas
Hasan. Bandung: Mizan, 1991.
Shiddiq,
Nourzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta:
PLP2M, 1985.
Syari’ati,
Ali, Islam Mazhab Aksi dan Pemikiran, terj. Afif Muhammad. Bandung:
Mizan, 1995.
----------------- Ummah
dan Imamah, terj. Afif Muhammad. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.
Tabattaba’I,
Sayid Husein, Islam Syi’ah: Asal-usul dan Perkembangannya, terj. Djohan
Efendi. Jakarta: Grafiti, 1993.
---------------------------------, Inilah
Islam, terj. Ahmad Syarif. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Watt,
William Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Helmi
Ali. Jakarta: P3M, 1988.
Yatim,
Badri, Ensiklopedi Mini, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos,
1996.
[1] Ahmad Warson
Munawir, Kamus Al-Munawir, (Yogyakarta: PP. Krapyak, 1990), hlm. 809
[2] Syayid Husein
Tabataba’i, Islam Syi’ah: Asal-usul dan Perkembangannya, terj. Djohan
Efendi, (Jakarta: Grafiti: 1993) hlm. 32.
[3]Badri Yatim,
(ed) Ensiklopedi mini, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos,
1996) hlm. 91.
[4] Ibn Khaldun, Muqaddimah
Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011) hlm. 243
[5] William
Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Helmi Ali,
(Jakarta: P3M 1988)hlm. 68.
[6] Abubakar Aceh,
Syi’ah rasionalisme dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1988) hlm. 15
[7] Nourouzzaman
Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta:
PLP2M, 1985) hlm. 8-9.
[8] Hamid Enayat, Reaksi
Politik Sunni-Syiah, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988) hlm. 6-7.
[9] Abu A’la
al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan,
1988) hlm. 159.
[10] Sayid Husein
Muhammad Jafri, Dari Saqifah sampai Imamah, terj. Meth Kierena,
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989) hlm. 301-316.
[11] Ibid.,
hlm. 223-231.
[12] Hamid Enayat, Reaksi
Politik, hlm. 290.
[13] Husein
Muhammad Jafri, Dari Saqifah, hlm. 232.
[14] Abul A’la
al-Madudi, Sistem Politik, hlm. 340.
[15] Ibid.,
hlm. 341.
[16] Ibid.,
hlm. 340.
[17] Ibid.,
hlm. 343.
[18] Ibid.,
hlm. 346.
[19] Imam Abu Hasan
al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,
terj. Kattami dan Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 15
[20] Ali Syari’ati,
Islam Mazhab Aksi dan Pemikiran, terj. Afif Muhammad, (Bandung: Mizan,
1992) hlm. 65
[21]
Sayid Husein Tabataba'i, Inilah Islam, terj. Ahmad Syarif, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 94.
[22] Ibid.,hlm.96.
[23]
Fauzi M.Najjar, "Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam, Al-Hikmah,
Oktober 1990, hlm. 94
[24]
Hamid Enayat, Reaksi Politik , hlm. 7
[25]
Ali Syari'ati, Ummah dan Imamah, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1995), hlm. 83.
[26] Ibid.,
hlm. 144.
[27]
A. Syarafuddin al-Musawii, Dialog Sunnah-Syiah, terj. Muhammad Baqir,
(Bandung: Mizan, 1990), hlm. 193.
[28]
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), hlm 251.
[29] Ibid.,
hlm. 251.
[30]
Hamid Enayat, Reaksi Politik, hlm. 76.
[31] Ibid.,
hlm. 77.
[32]
Abdul Azis A. Saachedina, Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syi'ah,
terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 201.
[33] Ibid.,
hlm. 210-211.
[34]
Fauzi M. Najjar, Demokrasi, hlm. 82.
[35] Yatim,
(editor), Ensiklopedi Mini, Sejarah,
hlm. 91
[36] Harun
Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai
Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 14.
[37] Departemen
Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya
(Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), hlm. 422.
[38] Allamah Sayyid
Muhammad Husein Thabathabai, Inilah Islam
(Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah), terj. Ahsin Muhammad
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 113-115.
[39] Hadist
Tsaqalain merupakan hadsit shahih yang diriwayatkan banyak perawi, baik dari
kalangan Sunni maupun Syi’ah. Lihat Murthado Muthahari Imamah dan Khalifah, terj. Satrio Pinandito (Jakarta: Firdaus,
1991), hlm. 9.
[40] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar