Rabu, 25 Desember 2013

Sejarah Perkembangan Politik Syi'ah



A.    Pendahuluan
Syi’ah, mendengar kata tersebut tentu kita akan langsung teringat kepada Ali bnin Abi Thalib. Seakan Syi’ah telah melekat dengan adanya Ali. Banyak perbedaan pendapat mengenai kenapa dan mengapa dinamakan syi’ah. Hal itulah yang akan menjadi salah satu bagian dari pembahasan ini. Namun yang telah pasti dan sebagian besar masyarakat mengakui adalah bahwa Syi’ah adalah pengikut atau pendukung setia Ali. Kelompok ini menekankan adanya Ahlul Bait dalam pemilihan seorang pemimpin.
Awal munculnya aliran ini juga masih menjadi perdebatan. Namun kelompok ini lebih terkenal setelah terjadinya perang Shiffin. Pada perkembangannya kelompok ini mempunyai aliran ideologi politik yang berbeda dengan kelompok lain. Imamah adalah salah satu dari aliran ideology syi’ah. Imam dipilih dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Pada perkembangnnya kelompok ini terpecah dalam berbagai kelompok kecil. Akan tetapi tetap mengunakan ideologi politik imamah.
Ada tiga ideologi politik yang bisa dikatakan melekat dengan kelompok syi’ah. Ideologi politik itu adalah: Imamah, Wilayat, dan ishmah. Tiga ideologi ini sepertinya tidak akan bisa lepas dari kelompok syi’ah, karena ini bagian penting syi’ah.  Syi’ah sebuah kelompok yang besar, tentu didalamnnya ada perbedaan pendapat yang terjadi, sehingga menimbulkan perpecahan.
B.     Pengertian Syi’ah
Syi’ah, kata ini tidaklah asing bagi para pengkaji sejarah Islam. Dalam kamus, kata “syi’ah” berarti “golongan”. Ia berasal dari kata “syaya’a” yang berarti “mengikuti”.[1] Syayid Husein Tabataba’i berkata, bahwa kata “syi’ah” berarti “partisan” atau “pengikut”.[2] Dengan makna seperti itu maka kata “syi’ah” mengandung pengertian sebagai “golongan”, “pengikut”, atau “partisan”.[3] Syi’ah menurut bahasa berarti sahabat dan pengikut. Para fuqoha dan mutakallimin, baik khalaf maupun salaf, mengertikan syi’ah sebagai pengikut Ali dan putra-putranya.[4]
Namun jika dilihat dari segi istilah, kata “syi’ah” berarti “golongan atau pengikut Ali bin Abi Thalib” atau “ sekelompok orang yang bersimpati dan menjadi pengikut Ali”.[5] Di dalam pengertian yang dapat diterima secara umum sampai sekarang, kata “syi’ah” lebih di identifikasikan sebagai suatu golongan yang menjadi pengikut atau pendukung Ali bin Abi Thalib, atau lebih tepatnya, sebagai pengikut dan pendukung mazhab Ahlul Bait.
C.    Perkembangan Syi’ah
Sejauh ini, dikalangan para sejarawan masih terjadi perbedaan pendapat tentang kapan munculnya faham Syi’ah. Ada yang berpendapat bahwa syi’ah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. [6] Pendapat tersebut tentunya tidak tanpa alas an. Pada saat Nabi sedang sakit al-Abbas mendesak Ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan ditunjuk sebagai pengantinya. Ali menolak hal itu karena khawatir Nabi akan menunjuk orang lain sehingga menutup kemungkinan baginya untuk memangku jabatan khalifah, selain itu Ali belum yakin sakitnya Nabi itu berakhir dengan kewafatannya.[7] Namun, pendapat yang popular dan sepertinya lebih bisa diterima adalah bahwa, syi’ah mulai muncul setelah wafatnya nabi Muhammad SAW, terutama pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, tumbuh dan berkembang pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Memasuki masa pemerintahan Ustman bin Affan isu tentang syi’ah kembali mencuat. ‘Abdullah bin Saba’, seorang asal Yahudi dengan maksudnya sendiri, berkempanye bahwa hak Ali telah di rampas oleh orang lain. Secara kronologis, sejarah lahirnya syi’ah dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sejarah mencatat, bahwa hari-hari pertama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, persoalan yang timbul adalah persoalan kekuasaan, yaitu menyangkut figur yang dianggap paling pantas menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Meskipun masalah itu untuk sementara waktu berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah, akan tetapi hal itu oleh sebagian kelompok dipandang masih menyisakan agenda persoalan.
Reaksi keras segera dimunculkan oleh para pendukung Ali yang mengklaim bahwa masalah kepemimpinan adalah hak mutlak Ali dan keturunannya atau Ahlul Bait, yang diyakini para pendukungnya dimana Ali telah menerima wasiat pengangkatan langsung dari Nabi Muhammad SAW.[8]  Wasiat ini diberikan sekitar 80 hari sebelum Nabi Muhammad meninggal, disuatu tempat yang bernama Ghadir Khum. Tetapi dalam kenyataannya, Ali justru baru memegang tampuk kepemimpinan setelah sebelumnya dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan. Oleh karena adanya keyakinan bahwa Ali telah menerima wasiat dari Nabi, dan oleh karena itu tentu ia yang paling berhak mengantikan Nabi setelah wafatnya beliau, maka sekelompok orang yang kemudian dikenal dengan sebutan syi’ah, tidak mau menerima hasil yang dicapai dalam pemilihan di suatu tempat yang bernama Saqifah yang mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah mengantikan Nabi Muhammad SAW.
Wafatnya khalifah Ustman bin Affandi tangan para pemberontak yang dating dari Mesir dan Irak, membuka kesempatan bagi Ali untuk tampil sebagai khalifah. Beberapa hari setalah wafatnya khalifah Ustman bin Affan, Ali kemudian diangkat oleh mayoritas kaum muslimin untuk menjadi khalifah mengantikan khalifah Ustman. Pada masa pemerintahannya muncul du pemberontakan; Pertama, dilancarkan oleh tiga serangkai yaitu Aisayah, Thalhah dan Zubaer. Pertempuran antara kelompok Ali dan kelompok tiga serangkai ini dikenal dengan sebutan “Perang Jamal” atau “ Perang Unta”. Kedua, dilancarkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang Gubernur Damaskus dan masih tergolong kerabat dekat Ustman. Mu’awiyah menggugat keabsahan kepemimpinan Ali dan melontarkan tuduhan bahwa Ali berkomplot dengan kaum pemberontak dan diaggap paling bertanggungjawab atas tumpahnya darah Ustman.[9] Perselisihan ini terus berlengsung sampai terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib di tangan ekstrimis bernama Abdurrahman bin Muljam pada tahun 40 H.
Setelah meninggalnya khalifah Ali, pemerintahan sempat dipegang oleh putra Ali yang bernama Hasan bin Ali. Namun setelah melalui perjanjian, akhirnya pemerintahan jatuh ke tangan klan Bani Umayah. Pada masa ini, gerakan kaum syi’ah mengalami perkembangan cukup pesat. Gerakan ini mencapai puncak konsolidasinya yang paling nyata ketika Bani Umayah dibawah kepemimpinan Yazid membantai keluarga Nabi di Padang Karbala. Syahidnya Husein putra Ali bersama keluarganya di Padang Karbala, merupakan kemenangan politik bagi kebangkitan Syi’isme. Peristiwa tersebut telah menarik simpati sebagian besar kaum muslimin kepada syi’ah dan menumbhkan kebencian yang luar biasa terhadap klan Umayah.[10]
Namun, penting untuk dicatat dan dipahami, bahwa jauh sebelum munculnya sikap oposisi Husein terhadap pemerintahan Bani Umayah, telah ada satu peristiwa yang juga ikut andil membentuk identitas syi’isme. Sebagaimana dijelaskan Sayid Husein Muhammad Jafri, bahwa Hujr bin Adi al-Kindi dan kawan-kawannya tidak pernah menyerah atas ide Syi’i. Mereka keluar dan memberontak terhadap Mu’awiyah dan panglimanya Ziyad bin Abu Sufyan yang memerintah Kuffah dan Basrah. Dikatakan bahwa para Syi’I yang gigih ini memperotes atas pengutukan Ali yang dilakukan secara gencar oleh Mu’awiyah dan menolak kepemimpinan siapapun kecuali keluarga Ahlul Bait. Akan tetapi, pemberontakan Hujr ini dengan mudah dapat ditumpas dan Hujr sendiri bersama enam kawannya ditangkap. Mu’awiyah menyodorkan tawaran menarik kepada mereka: bahwa jika Hujr dan enam kawannya bersedia mengutuk Ali di depan umum, mereka tidak akan dibunuh. Tetapi nyatanya Hujr dan enam kawannya memilih mati di pancung dari pada harus mengutuk Ali.[11]
Kenyataan bahwa Hujr dan enam kawannya rela mengorbankan nyawanya dari pada harus mencela Ali, begitu juga “drama” Karbala yang dipentaskan Husein dan anggota keluarganya, merupakan masalah yang tidak dapat dipandang sepele. Pasti ada makna yang lebih dalam dari sekedar kepentingan politik. Sejarah agama sering berisi tentang manusia-manusia yang lebih memilih mati dari menganti keyakinan mereka, dan sejarah manusia tidak dapat diterangkan hanya dengan acuan politik belaka.
Husein tahu, bahwa apa yang dipertaruhkan adalah perjuangan antara kebenaran dan kebatilan, serta yakin bahwa kebenaran telah nyata, maka tidak perlu digunakan taktik licik dan strategi. Dalam kenyataannya sikap revolusioner Husein telah membentuk spiritualisme Syi’ah yang progresif. Menurut Hamid Enayat, tragedi Husein telah menjelma menjadi “tumor ganas” dalam tubuh politik Bani Umayah. Yazid wafat karena merana empat tahun setalah tewasnya Husein, semua pelaku kejahatan Karbala memperoleh hukumannya masing-masing. Enam puluh tahun kemudian Bani Umayah tumbang.[12]
Begitu juga eksekusi Hujr oleh algojo Mu’awiyah membangkitkan gelombang duka dan goncangan kota-kota suci. Aisyah, janda Nabi Muhammad dan Abdulah bin Umar dengan keras memperotes eksekusinya. Dukungan dan simpati mengalir dari berbagai daerah untuk memperotes tindakan Mu’awiyah tersebut.[13]
Masih ada dua gerakan perlawanan yang perlu dicatat, yaitu perlawanan Zaid bin Ali (cucu Husein bin Ali) dan perlawanan Muhammad Nafsun Zakiyah (keturunan Hasan bin Hasan bin Ali). Pemberontakan Zaid bin Ali dicetuskan pada tahun 122 H, pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik dan Zaid sendiri wafat sebagai Syahid.[14] Pemberontakan Nafsun Zakiyah terjadi pada tahun 145 H dan sempat menggoncangkan kekuasaan al-Mansyur dari Dinasti Abbasiyah, dan sebagaimana pemberontakan Zaid, gerakan ini pun berhasil ditumpas oleh kekuatan al-Mansyur.[15]
Sikap perlawanan yang ditampilkan oleh para imam Syi’ah ini banyak mendapatkan simpati dari para ulama pada saat itu. Dalam pemberontakan Zaid, Imam Abu Hanifah memberikan bantuan material dan ia menasehati rakyat untuk berjuang disisi Zaid. Ia mengibaratkan pertempuran itu seperti pertempuran Rasulullah dalam perang Badar.[16] Begitu juga dalam pemberontakan Nafsun Zakiyah, Abu Hanifah mendukung gerakan tersebut secara terang-terangan dan ia memfatwakan bahwa pemberontak bersamanya lebih utama dari haji sunah lima puluh atau tujuh puluh kali.[17]
Sikap Imam Malik dalam hal ini juga tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Hanifah. Ketika sedang berlangsung pemberontakan Nafsun Zakiyah, ia memfatwakan bahwasannya bai’at yang dilakukan secara paksa oleh al-Mansyur semuanya adalah batal dan tidak sah.[18] Fatwa ini mengandung pengertian, bahwa rakyat tidak perlu lagi setia atau taat kepada pemerintahan al-Mansyur karena dipandang telah menyimpang dari ajaran agama.
Apa yang hendak dikatakan dari uraian diatas adalah bahwa berbagai pemberontakan ini ditunjukkan bahwa identitas Syi’isme pada masa tersebut telah mengalami konsolidasi yang cukup kuat. Tapi dalam waktu yang bersamaan, anak-anak keturunan Husein juga banyak melakukan “aksi diam” semenjak terjadinya tragedi Karbala dan lebih mencurahkan perhatiannya untuk mendalami ilmu keagamaan. Dua bentuk aktifitas ini, pada tahap perkembangannya telah membentuk dua identitas Syi’ah, yakni gerakan politik dengan kekuatan senjata dan gerakan cultural (budaya) yang lebih menekankan pada aspek pemikiran dan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan dibidang agama.
D.    Ideologi Politik Syi’ah
1.      Imamah
Imamah menurut al-Mawardi adalah “suatu lembaga kepala Negara dan pemerintah yang diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia.”[19] Kepemimpinan dalam konteks ini dianggap sebagai pewaris sah pelanjut kepemimpinan Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat.
Pengertian lainnya dikemukakan oleh Ali Syari’ati:
Imamah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang berbeda dengan rezim-rezim lainya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengerahkan manusia menuju kesadaran, pertembuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.[20]
Di dalam paham Syi'ah, imamah (kepemimpinan) memiliki makna yang lebih khusus, karena di dalamnya kepemimpinan dibatasi hanya sebagai hak mutlak Ahlul Bait, yaitu Ali dan keturunannya. Dengan batasan semacam itu, maka model kepemimpinan dalam imamah didasarkan pada sistem "penunjukan" Nabi SAW kepeda Ali dan turun-menurun oleh keturunannya.
            Dalam argumentasi kaum Syi'ah, masalah imamah merupakan masalah yang sangat penting, sehingga tidak mungkin hanya diserahkan kepada umat untuk memutuskannya, melainkan harus melibatkan seorang manusia yang memiliki kualitas lebih untuk memutuskannya. Di sinilah peran aktif Nabi SAW yang menunjuk Ali sebagai penggantinya dipandang sebagai suatu langkah rasional. Tak masuk akal, demikian kata Tabataba'i, bahwa Nabi SAW meninggal tanpa mengangkat seorang pengganti, padahal setiap Nabi SAW berhalangan untuk memimpin suatu urusan, Nabi SAW selalu mengangkat wakil, seperti dalam ekspedisi perang dan sebagainya, dan bahkan ketika Nabi SAW berhalangan untuk memimpin shalat, Nabi juga menunjuk salah satu sahabat untuk menggantikannya.[21]
            Atas dasar itu Tabataba'i mempertanyakan, mungkinkah dalam urusan yang begitu penting (kepemimpinan), Nabi SAW membiarkannya dan menyerahkan urusan di tangan umat?[22] Pertanyaan ini menyiratkan adanya suatu formulasi sistematis yang dilakukan secara sadar mengenai tatanan sosial-politik di mana masyarakat tidak punya hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan seorang pemimpin dan menghapus sama sekali peran aktif mereka di dalamnya, dengan suatu argumen bahwa inspirasi Ilahiah yang disalurkan melalui suara Nabi SAW akan menjadikan peran dan keputusan yang mereka ambil  mubadzir.[23]  
            Alasan yang seringkali digunakan adalah bahwa masalah kepemimpinan umat adalah masalah yang terlalu vital untuk diserahkan begitu saja pada musyawarah manusia-manusia biasa yang bisa saja memilih orang yang salah untuk kedudukan tersebut. Hanya Allah-lah yang bisa mengenali individu-individu yang memiliki sifat-sifat berilmu, tidak cacat dan tidak mungkin keliru (ma'shum), dan dengan demikian dapat menjamin kajayaan wahyu-wahyu-Nya dengan menjadikan individu-individu  tersebut dikenal melalui Nabi SAW.[24]  
            Ali Syari'ati, seorang cendekiawan yang sering disebut-sebut sebagai salah  seorang "arsitek" revolusi Islam Iran tahun 1979, menyatakan bahwa tugas seorang imam di sini jauh lebih penting daripada bentuk kepemimpinan apa pun. Menurutnya, imamah pada dasarnya merupakan perwujudan dari "risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat" dari "apa yang kini ada" (dassein) menuju "apa yang seharusnya ada" (dassolen) semaksimal apa yang bisa dilakukan, bukan berdasarkan pada keinginan pribadi seorang imam, melainkan atas konsep yang baku yang menjadi kewajiban bagi imam lebih dari individu lainnya.[25]  
            Dengan kata lain, tugas seorang imam tidak hanya terbatas pada memimpin umat manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masalah-masalah tertentu seperti tugas-tugas seorang amir atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia semua aspek kehidupan yang bermacam-macam.[26]  Jadi sifatnya sangat multidimensional.

2.      Wilayat
Menurut A. Syarafuddin al-Musawi, makna yang terkandung dalam kata "wilayat" adalah "orang yang memiliki kekuasaan".[27] Murtadla Mutahhari mengatakan bahwa kata "wala," "walayah," "wilayah," "wali," dan "maula",banyak sekali disebut di dalam Qur'an. Sebagai kata kerja disebut 124 kali dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Hal ini menunjukkan bahwa Qur'an memandang penting masalah wilayat.[28]
Di dalam Qur'an, menurut Murtadla Muthahhari, dibedakan antara dua jenis wala: wala negatif dan wala posistif. Umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan wala positif dan menghindari wala negatif. Wala positif  mempunyai dua bentuk: umum dan khusus. Yang khusus dibagi lagi menjadi beberapa kategori: wala sebagai Ahlu Bait, wala sebagai imamah, wala sebagai kepemimpinan dan wala sebagai kemampuan mengendalikan atau mendominasi hal-hal yang adialami atau adikodrati.[29]
3.      Ishmah
Di dalam mazhab Syi'ah, yang dimaksudkan dengan ismah atau kema'shuman adalah penjagaan atau perlindungan Tuhan terhadap Ahlul Bait (Ali dan sebelas keturunannya) dari perbuatan salah dan dosa. Dengan pengertian seperti ini, maka Ali dan sebelas keturunannya merupakan manusia-manusia pilihan Tuhan yang tidak mungkin berbuat salah dan melakukan dosa, karena mereka telah mendapatkan perlindungan dan penjagaan dari Tuhan.
Faktor penting yang menjadi dasar logika masalah ishmah para imam ini adalah, bahwa mereka ini ditempatkan sebagai pewaris misi kenabian, dalam hal untuk membimbing umat dari jalan yang sesat menuju kebenaran, sebagaimana yang dikehendaki Allah. Hal ini juga berarti bahwa para imam adalah manusia yang paling "berhak" untuk menafsirkan dan menjaga kemurnian ajaran agama, sebagaimana tugas yang dibebankan kepada Nabi SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Murtahdla Mutahhari menegaskan:
Jika diakui bahwa imamah adalah suatu tambahan kepada kenabian guna menguraikan agama, maka menjadi pasti bahwa keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan dan imam itu ma'shum dengan alasan yang sama seperti Nabi. Jika seseorang mengatakan bahwa kema'shuman seorang imam tidak begitu penting, karena jika ia membuat suatu kesalahan mungkin beberapa orang lainnya dapat diberitahukan kesalahannya, maka kami akan mengatakan bahwa dalam hal itu orang yang lain itu akan memerlukan lagi orang yang lainnya untuk mengawasinya dan demikian seterusnya. Pada akhirnya kami tentu saja akan membutuhkan sang pelindung hukum Islam yang ma'shum. Lantas apabila imam itu dapat berbuat kesalahan, maka akan menjadi tugas yang lainnya untuk membimbingnya dengan benar, sementara tugas umat adalah mengikutinya, bukan membimbingnya. Dua hal ini tidaklah konsekuen satu sama lain.[30] 
Dari sudut pandang ini nampak jelas bahwa kema'shuman yang dimiliki oleh imam sama halnya dengan kema'shuman yang dimiliki oleh Nabi SAW, meskipun dengan demikian bukan berarti bahwa para imam adalah sama dengan Nabi SAW.[31] Akan tetapi, hal itu menunjukkan bahwa masalah imamah adalah semata-mata hak mutlak Tuhan, sebagaimana juga halnya dengan hak Tuhan untuk mengangkat seseorang menjadi Nabi, dan karena itu manusia tidak mempunyai kewenangan apa-apa untuk ikut campur dalam menentukan masalah tersebut. Jika seorang Nabi diangkat oleh Allah melalui Nabi SAW dan sekaligus memperkenalkannya kepada umat manusia, maka demikian juga halnya dengan pengangkatan seorang imam yang dilakukan Allah melalui Nabi SAW.
Dalam pandangan kaum Syi'ah, masalah kema'shuman merupakan masalah yang sangat penting. Hal ini erat hubungannya dengan masalah imamah. Jadi, karena imamah merupakan hal yang sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan upaya menjaga realisasi dan pelaksanaan hukum-hukum Allah di muka bumi, maka masalah kema'shuman menjadi masalah yang sangat penting, karena hanya di tangan para imam yang ma'shum itulah, maka hukum-hukum Tuhan tersebut dapat direalisasikan pelaksanaannya dengan cara yang murni dan sempurna.
Masalah pelaksanaan hukum-hukum Tuhan ini, erat hubungannya dengan gagasan tentang penciptaan suatu masyarakat yang adil. Dalam Qur'an sendiri, seperti ditunjukkan oleh Sachedina, bahwa tidak ada sesuatu lain yang mampu menandingi penekanan yang diberikan pada masalah seputar menegakkan keadilan. Sasaran utama wahyu Allah ini menurutnya adalah menegakkan suatu tatanan masyarakat yang adil, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW, dan upaya untuk merealisasikan gagasan tersebut, tegas Sachedina, sangat bergantung pada pemimpin yang secara implisit mendapatkan bimbingan dari Allah.[32]
Oleh karena itu, sangat bisa dipahami jika dalam tradisi Syi'ah, pelaksanaan al-qadha (pemutusan suatu perkara) dipandang sebagai hak konstitusional para imam, disebabkan oleh wilayat al-Ilahiyyah (otoritas Ilahi) yang diberikan kepada imam melalui penunjukan Nabi SAW kepada Ali.[33] Disuntikkannya dimensi ketuhanan dalam aspek imamah inilah yang menjadikan para imam sering divisualisasikan sebagai mewakili transendensi Tuhan di muka bumi.[34]
E.     Aliran dalam Syi’ah
Dalam perkembangannya hingga saat ini syi’ah terbagi dalam berbagai kelompok atau golongan. Beberapa golongan antara lain:
1.      Syi’ah Zaidiyah
Aliran ini tergolong Syi’ah moderat yang mengakui keabsahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sebagai khalifah, hanya saja tidak mengakui sebagai imam, karena imam yang paling utama hanya Ali Ibn Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali dan Zaid bin Ali. Mereka mempunyai empat rukun yaitu tauhid, nubuwah (kenabian), ma’ad (alam akhirat) dan imamah.  
2.      Syi’ah Isna’Asyariyah
Sering disebut sebagai Syi’ah imamiyah yang meyakini 12 imam yaitu: Ali Ibn Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far as- Shidiq, Musa al-Kadzim, Ali ar-Ridha, Muhammad Jawwad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar atau biasa dikenal dengan Imam Mahdi.[35] Mereka adalah pewaris Rasulullah yang dalam Islam sebagai pemilik kebijakan-kebijakan khusus dan kedudukan (maqam) yang tidak dimiliki orang lain. Aliran ini memakai al-Qur’an dan hadist sebagai sumber utama, tetapi hadist yang mereka terima hanyalah hadist yang sanadnya kembali ke Ahlul Bait.[36]
Dua kedudukan yang mereka miliki didasarkan pada:
a.       Ayat:
 $yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ  

Artinya: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahllul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS: al-Ahzab, 33).[37]

Mereka memiliki kedudukan suci dan sesuai dengan itu dosa tidak mungkin timbul dari mereka.[38]
1)      Sesuai dengan hadist Rasulullah yang dikenal dengan sebutan hadist Tsaqalain[39] yang berbunyi:
انّي تا رك فيكم الثقلين: كتاب الله وعثرتى
Artinya: “Aku tinggalkan diantara kamu dua hal yang berharga; yaitu kitabullah dan para keturunanku yang terpilih”.

3.      Syi’ah Sab’iyah (Isma’iliyah)
Golongan ini memiliki tujuh orang imam, tetapi imim yang ketujuh bukan Musa al-Khazim tetapi Isma’il. Munculnya Syi’ah  tujuh ini disebabkan oleh perbedaan dalam menafsirkan surat wasiat Ja’far as-Shadiq dalam menentukan penggantinya. Dalam surat itu imam Ja’far menunjuk putra sulungnya yaitu Isma’il sebagai penggantinya, akan tetapi Isma’il meninggal terlebih dahulu dari pada ayahnya. Masalahnya timbul karena ada yang meyakini bahwa wasiat seorang imam tidak dapat diubah.
Kelompok ini mempercayai bahwa Isma’il sebagai imamnya. Mereka meyakini bahwa imam mereka masih hidup dan bersembunyi di suatu tempat. Berbeda dengan Imam al-Muntazhar yang bersembunyi ketika berumur 6 tahun sedang Isma’ail bersembunyi ketika mempunyai seorang anak.[40]
F.     Kesimpulan
Syi’ah adalah pengikut atau partisan atau pendukung Ali bin Abi Thalib. Jadi Aliran syi’ah adalah kelompok yang mendukung Ali dengan alasan hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad. Aliran ini mencuat ketika perang Shiffin yang mempertmukan kelompok Ali dan Mu’awiyah. Namun benih dari syi’ah telah ada pasca wafatnya Nabi.
Imamah, wilayat, dan Ishmah adalah ideologi politik dari faham ini. Faham ini berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak hanya terkait dengan dunia, tapi juga akhirat. Sebagai seorang pemimpin juga dituntut untuk bisa menguasai atau mempunyai hak untuk mentafsirkan al-qur’an. Kema’shuman dari seorang pemimpin itu sangat penting bagi faham ini. Hal itu berkaitan erat dengan Imamah.
Pada perkembangannya aliran ini terpecah menjadi beberapa golongan atau kelompok. Diantaranya adalah: Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Isna’Asyariyah, Syi’ah Sab’iyah (Isma’iliyah). Adanya kelompok ini tentu terjadi karena perbedaan pandangan dan seiring berjalannya waktu.

Daftar Pustaka
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan. Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005
Aceh, Abubakar, Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, 1998
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni-Syi’ah, terj. Asep Hikmat. Bandung: Pustaka, 1988
Imani, Mahdi Faqih, Mengapa Musti Ali?, terj. Muhammad Babul Ulum dan Ali Sibramalisi. Jakarta: Citra, 2006.
Jafri,Sayid Muhammad Husein, Dari Saqifah sampai Imamah, terj. Meth Kierena. Jakarta:Pustaka Hidayah, 1989.
Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Maududi, Abul ‘Ala, Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir. Bandung: Mizan, 1987.
Mawardi, Imam Abu Hasan, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, terj. Kartami dan Nurdin. Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: PP. Krapyak, 1990
Musawi, A. Syarifuddin, Dialog Sunnah-Syi’ah, terj. Muhammad Baqir. Bandung: Mizan, 1990
Muthahari, Murthado, Imamah dan Khalifah, terj. Satrio Panandito. Jakarta: Firdaus, 1991
Najjar, Fauzi M, Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam. al-Hikmah, Oktober 1990
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspek. Jakarta: UI Press, 2002
Rahmad, Jalaludin, Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1991
Sachedina, Abdul Aziz A, Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syi’ah, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1991.
Shiddiq, Nourzzaman, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Syari’ati, Ali, Islam Mazhab Aksi dan Pemikiran, terj. Afif Muhammad. Bandung: Mizan, 1995.
----------------- Ummah dan Imamah, terj. Afif Muhammad. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.
Tabattaba’I, Sayid Husein, Islam Syi’ah: Asal-usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Efendi. Jakarta: Grafiti, 1993.
---------------------------------, Inilah Islam, terj. Ahmad Syarif. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Watt, William Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Helmi Ali. Jakarta: P3M, 1988.
Yatim, Badri, Ensiklopedi Mini, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos, 1996.





[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (Yogyakarta: PP. Krapyak, 1990), hlm. 809
[2] Syayid Husein Tabataba’i, Islam Syi’ah: Asal-usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Efendi, (Jakarta: Grafiti: 1993) hlm. 32.
[3]Badri Yatim, (ed) Ensiklopedi mini, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Logos, 1996) hlm. 91.
[4] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011) hlm. 243
[5] William Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Helmi Ali, (Jakarta: P3M 1988)hlm. 68.
[6] Abubakar Aceh, Syi’ah rasionalisme dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1988) hlm. 15
[7] Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985) hlm. 8-9.
[8] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni-Syiah, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988) hlm. 6-7.
[9] Abu A’la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1988) hlm. 159.
[10] Sayid Husein Muhammad Jafri, Dari Saqifah sampai Imamah, terj. Meth Kierena, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989) hlm. 301-316.
[11] Ibid., hlm. 223-231.
[12] Hamid Enayat, Reaksi Politik, hlm. 290.
[13] Husein Muhammad Jafri, Dari Saqifah, hlm. 232.
[14] Abul A’la al-Madudi, Sistem Politik, hlm. 340.
[15] Ibid., hlm. 341.
[16] Ibid., hlm. 340.
[17] Ibid., hlm. 343.
[18] Ibid., hlm. 346.
[19] Imam Abu Hasan al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, terj. Kattami dan Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 15
[20] Ali Syari’ati, Islam Mazhab Aksi dan Pemikiran, terj. Afif Muhammad, (Bandung: Mizan, 1992) hlm. 65
[21] Sayid Husein Tabataba'i, Inilah Islam, terj. Ahmad Syarif, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 94.  
[22] Ibid.,hlm.96.
[23] Fauzi M.Najjar, "Demokrasi dalam Filsafat Politik Islam, Al-Hikmah, Oktober 1990, hlm. 94
[24] Hamid Enayat, Reaksi Politik , hlm. 7
[25] Ali Syari'ati, Ummah dan Imamah, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 83.
[26] Ibid., hlm. 144.
[27] A. Syarafuddin al-Musawii, Dialog Sunnah-Syiah, terj. Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1990), hlm. 193.
[28] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), hlm 251.
[29] Ibid., hlm. 251.
[30] Hamid Enayat, Reaksi Politik, hlm. 76.
[31] Ibid., hlm. 77.
[32] Abdul Azis A. Saachedina, Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syi'ah, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 201. 
[33] Ibid., hlm. 210-211.
[34] Fauzi M. Najjar, Demokrasi, hlm. 82.
[35] Yatim, (editor), Ensiklopedi Mini, Sejarah, hlm. 91
[36] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 14.
[37] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), hlm. 422.
[38] Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai, Inilah Islam (Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah), terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 113-115.
[39] Hadist Tsaqalain merupakan hadsit shahih yang diriwayatkan banyak perawi, baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah. Lihat Murthado Muthahari Imamah dan Khalifah, terj. Satrio Pinandito (Jakarta: Firdaus, 1991), hlm. 9.
[40] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar