Letnan
Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles menguasai Hindia Belanda selama
1811-1816. Lukisan ini dibuat ketika dia menjabat sebagai Letnan Gubernur
Bengkulu. Litografi oleh Thompson berdasarkan miniatur.
"Semua
perempuan yang berada di hunian dalam keraton tetap dihormati, dan kepemilikan
harta mereka turut dilindungi. Dalam kesempatan seperti ini diperlukan disiplin
yang sangat tegas bahwa tak satu pun orang dianiaya ataupun kebiadaban
berlangsung.” Pernyataan tadi ditulis oleh Kapten William Thorn, seorang
perwira Kerajaan Inggris, dalam Memoirs of The Conquest of Java yang terbit
tiga tahun setelah penaklukan Yogyakarta. Thorn terlibat dalam pertempuran
19-20 Juni 1812. Tampaknya, ada yang luput dari perhatian Thorn tentang
peristiwa menyerahnya Sultan.
Sabtu
pagi yang penuh kekalutan. Pertempuran antara serdadu Kerajaan Inggris dan
laskar Keraton Yogyakarta masih berlanjut, tetapi dengan skala yang
mengecil. Semua kubu pertahanan Sultan
Hamengkubuwono II sudah dikuasai serdadu-serdadu sipahi India. Keraton sudah
sangat terdesak, serdadu-serdadu berseragam merah khas Kerajaan Inggris telah
menyeruak ke dalam keraton.
Peter
Brian Ramsay Carey dalam Kuasa Ramalan yang terbit pada 2011 mengungkapkan
suasana jatuhnya Keraton Yogyakarta lewat pemerian Babad Bedhah ing
Ngayogyakarta. Dia merupakan Profesor Emeritus di Trinity College, Oxford,
Inggris, dan kini dia juga menjabat sebagai Adjunct Professor di Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Indonesia. Babad itu ditulis Pangeran Panular, salah satu
putra Sultan. Saat pagi menjelang, Sultan dan keluarganya berbusana serba
putih, bahkan kursi-kursi pun dibalut kain putih. Sultan telah memerintahkan
semua kepala laskar prajurit keraton untuk meletakkan senjata dan mengibarkan
bendera putih. Sebelum pukul sembilan, Sultan sudah menjadi tawanan.
Dalam
tawanan itu termasuk sekitar 300 laskar perempuan pengawal Sultan. Mereka
adalah para perempuan yang dididik untuk berperilaku lembah lembut dan
bertindak tegas secara militer. Mereka mahir menggunakan senapan dan menunggang
kuda. Babad tersebut juga mengisahkan betapa terhinanya Sultan saat itu. Mereka
merelakan segala senjata dilucuti oleh serdadu Inggris dan sipahi, kemudian
diarak dengan pengawalan menuju Wisma Residen yang berlokasi di barat Benteng
Vredeburg.
Menurut
Carey, Sultan menyerahkan keris, pedang, dan belatinya. Semua senjata pusaka
keraton disita, yaitu Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo,
Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Namun, tatkala penobatan
Hamengkubuwono III, senjata pusaka itu dikembalikan lagi ke keraton, kecuali
pedang dan belati karena Raffles kelak mengirimkannya kepada Lord Minto di
India sebagai tanda penaklukan Keraton Yogyakarta kepada Kerajaan Inggris.
Bahkan, kancing-kancing emas yang melekat di busana kebesaran Sultan dijarah
oleh para serdadu sipahi India.
Berbagai
senjata, gamelan, wayang, ratusan kitab sejarah Jawa, dan naskah-naskah daftar
tanah kerajaan turut dijarah. Bahkan, dikisahkan juga dalam Babad Bedhah ing
Ngayogyakarta bahwa selama empat hari lebih, harta rampasan perang diangkut
dengan pedati ke Wisma Residen. Kuli pengangkutnya berasal dari pengawal dan
kerabat dekat Sultan sendiri. Sementara itu, sebagai seorang letnan gubernur
dan panglima perang, Thomas Stamford Raffles pun tak ketinggalan. Dia turut
menjarah dan mengangkut harta keraton yang nilainya sekitar 200.000 hingga
1.200.000 dollar Spanyol.
Kolonel
Rollo Gillespie, seorang panglima tentara Inggris di Jawa, menjarah 800.000
dollar Spanyol. Sebesar 74.000 dollar Spanyol (sekitar Rp 27 miliar untuk kurs
kini) untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di
bawahnya. Sebagian lagi, sebesar 7.000 dollar Spanyol (sekitar Rp 2,5 miliar
untuk kurs kini) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran.
Pustaka naskah itu tidak kembali ke Jawa, setidaknya hingga hari ini. Menurut
pemerian Carey, sekitar 55 naskah Jawa milik Raffles, sebagian besar diserahkan
kepada Royal Asiatic Society pada 1830. Koleksi naskah jarahan Raffles bukanlah
yang terbanyak. Kolonel Colin Mackenzie memiliki 66 naskah Jawa milik Keraton
Yogyakarta. Sementara itu, sekitar 45 naskah Jawa koleksi John Crawfurd,
seorang residen Yogyakarta, sebagian besar dijual kepada British Museum pada
1842.
Babad
tersebut juga berkisah tentang penjarahan yang tampaknya membabi buta terhadap
barang-barang perhiasan milik perempuan keraton. Serdadu-serdadu itu memasuki
wilayah keputren. Seorang istri resmi Putra Mahkota dilucuti perhiasan dan
pakaian kebesarannya. Salah seorang perwira Inggris tewas ditikam seorang
perempuan keraton lantaran sang perwira akan membawanya sebagai rampasan
perang, demikian paparan Carey dalam bukunya. Peristiwa ini hanya terjadi
sekali dalam sejarah Jawa, ketika istana sebagai lambang kedaulatan penguasa
lokal diserang, dijarah, dan ditundukkan oleh pasukan Eropa.
Sumber:
http://sains.kompas.com/read/2013/11/20/2157276/Tatkala.Raffles.Menjarah.Keraton.Yogyakarta

Tidak ada komentar:
Posting Komentar