Bulan Shafar adalah bulan
kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan
bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak
memiliki kehendak dan berjalan sesuai
dengan apa yang Allah ciptakan untuknya. Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk
bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um
(anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih
ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.
Abu
Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,
"Tidak
ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula
ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan
Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari
singa." (H.R.Imam al-Bukhari
dan Muslim).
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu,
bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka
berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa
bersandar pada ketentuan dari takdir Allah. Sakit atau sehat, musibah atau
selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana
berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah,
bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan
berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain
Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang
sehat”.
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan
adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada
Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang
menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau
masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama
seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang
ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada
Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di
hadapkan pada perkara-perkara tersebut. Bila seorang muslim pikirannya
disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua
keadaan. Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau
meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan
sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu
dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya
membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang
pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan
hendaknya bersandar hanya kepada Allah.
Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya,
karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah
pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu
yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu
yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah. Muktamar NU yang ketiga, menjawab
pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau
hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful
Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip
pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut
ini:
“Barangsiapa
bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk
ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui
keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk
orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan
hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip
tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta
tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Indikasi
Kesialan dalam Quran dan Hadits
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala, yang
artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku
dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka
angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang
menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (Q.S
al-Qamar (54:18-20).
Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa
kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir)
tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya
menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini
hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan
tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus. Istilah
hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam
hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda,
“Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan
adalah hari sial terus).”
Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam
al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah
bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai.
Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan
jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah. Bagaimana
dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi
Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur (penulis sendiri terus terang belum mengetahui
dan meneliti kebenaran nama dan kitab ini, bahkan dalam beberapa tulisan kitab
ini disebut dengan Kanzun Najah Was-Suraar Fi Fadhail Al-Azmina Wash-Shuhaar
dan Kanju al-Najah wa al-Surur fi al-Adiyati al-Lati Tasrohu al-Sudur) yang
menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang
tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi
dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.
Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di
sepanjang tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil,
sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17
kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas
masing-masing sekali; lalu setelah salammembaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang
bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna
setahun. Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik
Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang
menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip
dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada
nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits
dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah
hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat
pijakan kepercayaan. Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari
syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa
dikategorikan hujjah secara syar’i. Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya
sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang
dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana
diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul
Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan,
dinyatakan:
“Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang
mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap
waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada
madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga naas
bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa
setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena
ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita
berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.” Wallahu ‘A’lam.
Yusuf
Suharto
Ketua
Aswaja NU Center Jombang, Kontributor NU Online
Sumber
http: //nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,41663-lang,id-c,ubudiyah t,Penjelasan+Mengenai+Rebo+Wekasan-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar