Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah
terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang
Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch
mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau
menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam
paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu
pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada
perkembangan yang bebas dari sistem pasar. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830
sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa.
Cultuurstelsel (atau secara kurang tepat
diterjemahkan sebagai Tanam Paksa) adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual
kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada
kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan
senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch
ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi
ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk
menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak
tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi
dari sumber-sumber lain. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan
tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,
yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar
biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun
sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di
Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja
kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan
Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda.
Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya,
membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan
Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij
(NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Untuk mendorong
keberhasilan sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga
mendapatkan komisi atau persentase dari hasil cultuurstelsel (tanam
paksa) ini. Sistem ini tidak diberlakukan pada desa-desa perdikan (desa
bebas pajak) karena kewajiban khusus dari kekuasaan feodal seperti
mengurus makam dan memelihara pesantren.
Beberapa perubahan sosial yang terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi (peny):1984) Edi Cahyono (1991) dan Rajagukguk (1995) adalah: Pertama,
pengambil alihan tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah
melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang
kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja tambahan
tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah
garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka. Kedua,
kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman tersebut telah
mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk
menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu,
secara politik sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa
menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol administrasi
kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan di
wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat,
Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk
bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka.
Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima,
Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk
tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa, arab maupun
golongan pengusaha Belanda sendiri. Keenam, Tanam paksa
juga telah melahirkan pengistilahan baru dalam lapisan-lapisan di
masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng (kewajiban penuh kerja
bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa penuh) telah
menggantikan istilah numpang dan sikep. Sebab, semua pemilik tanah wajib
menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel. Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi kuli/buruh (Prisma:1991) .
Tanam paksa adalah era paling eksploatatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam
dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan
negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC
wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi
modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835
hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya
pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon,
Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari
berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870,
meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai
1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa
tanah dalam UU Agraria 1870.
sumber: http://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/20/tanam-paksa-sejarah-anak-negeri-menjadi-kuli/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar