“Di
mana letaknya tempat yang disebut ’Gedung Proklamasi’?”
Pertanyaan yang sederhana mengenai tempat kelahiran negara
Indonesia, tetapi jawaban yang muncul banyak mengarah kepada
“tidak tahu”. Sesungguhnya, jawaban “tidak tahu” jauh lebih baik
daripada percaya kepada informasi yang sekarang terdapat di
lokasi ini. Sangat menyedihkan, apa yang dimasyarakatkan oleh
Pemprov DKI Jakarta mengenai “Gedung Proklamasi” kenyataannya
mengandung pembodohan dan manipulasi data sejarah. Mengapa
demikian?
Kediaman
Bung Karno inilah yang dulu disebut “Gedung Proklamasi”, karena
di tempat ini proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir
Soekarno dan Drs Moh Hatta hari Jumat legi (manis) tanggal 17
Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Proklamasi kemerdekaan itu
bertepatan dengan peringatan turunnya Al Quran (Nuzulul Quran,
sehingga khotbah para khatib shalat Jumat pun menginformasikan
peristiwa penting tentang kelahiran bangsa dan negara
Indonesia).
Sayang
seribu kali sayang, rumah historis ini musnah sudah sejak tahun
1960 (43 tahun lalu). Kecuali lahan, tidak sedikit pun bangunan
tersisa. Tidak ada lagi peninggalan sejarah kemerdekaan yang
dapat dijadikan kenangan bagi generasi penerus. Tidak ada
informasi yang natural, normatif, orisinal, sesuai hakikat
peristiwa yang terjadi di kediaman Bung Karno ini.
Ceritanya,
tahun 1960 Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah
Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut
direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana
Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.
Di
lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961
melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu,
“Tugu Petir”, yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini
berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang
Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian
dicantumkan, “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung
Karno dan Bung Hatta”.
Sekitar 50
meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai
dimulainya pelaksanaan “Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.
Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan
satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.
Menjawab kebohongan
Melihat
data di atas, sungguh aneh dan ajaib ada papan petunjuk di Jalan
Proklamasi bahwa belok kiri menuju “Gedung Proklamasi”. Tidak
yakin dengan keterangan ini karena papan petunjuk ini dibuat oleh
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta? Kerja pemerintah
daerah ini pastilah melibatkan dinas atau instansi terkait, tidak
asal-asalan.
Ada data
autentik yang menjawab hal ini. Lihat halaman 170 buku 30 Tahun
Indonesia Merdeka 1950-1964 (cetakan keenam 1985) berjudul
“Peresmian Dimulainya Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta
Berencana”. Tulisan yang tercantum, antara lain, “Presiden
Soekarno meresmikan dimulainya Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahap Pertama 1961-1969 dalam suatu upacara
pencangkulan tanah di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta”.
Kata
pengantar buku disampaikan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono
SH selaku Ketua Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan RI XXX.
Buku yang hak ciptanya dimiliki Sekretariat Negara dan dicetak
pertama kali tahun 1977 itu memuat pula sambutan Presiden
Soeharto. Jadi, buku bersampul reproduksi lukisan Dullah milik
presiden waktu itu, Soeharto, adalah dokumen resmi yang
diterbitkan Pemerintah Indonesia.
Data akurat
tentang “Gedung Pola” ditulis sebagai berikut: Di halaman
belakang Gedung Proklamasi yang kemudian dirobohkan dibangun
Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (Gedung Pola).
Pada masa ini dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek
yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang
industri dan prasarana. Di bidang industri, titik berat
diletakkan kepada pembangunan industri berat dan industri kimia
dasar. Antara lain mulai dibangun pabrik super- fospat di Cilacap
(Jawa Tengah), pabrik peleburan baja di Cilegon (Jawa Barat),
serta pabrik semen, pabrik gula, dan pabrik kertas di berbagai
tempat di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Kalimantan.
Apakah
informasi ini diperhatikan Pemprov DKI Jakarta? Kalau “ya”,
cerita di Jalan Proklamasi 56 tentulah tidak seperti sekarang.
Amburadul, penuh kebohongan, dan pemalsuan sejarah yang merugikan
generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan.
Perhatikan
halaman utara “Gedung Pola” (menghadap Kantor Telkom), ada baliho
bertuliskan huruf-huruf besar: GEDUNG PERINTIS KEMERDEKAAN.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baliho berarti
publikasi yang besar-besaran agar menarik masyarakat. Di bagian
belakang gedung juga ada tulisan serupa yang ditempel ke
tembok menghadap lokasi proklamasi. Beberapa hurufnya rusak dan
menggelantung, menandakan tidak terkontrol.
Istilah
“Gedung Perintis Kemerdekaan” jelas salah, salah besar dalam arti
sejarah, bahasa, dan pengertian politik. Dari segi sejarah,
gedung ini dibangun hampir 16 tahun kemudian setelah kemerdekaan
(17 Agustus 1945-1 Januari 1961) dan diberi nama “Gedung Pola”.
Dari segi bahasa, menurut KBBI, kata perintis berarti usaha
pertama atau permulaan; pembuka jalan. Pameran Pola Pembangunan
Nasional Semesta tahun 1963 adalah pameran pertama tentang
pembangunan setelah Indonesia merdeka. Kalau mau jujur, “Gedung
Pola” disebut “Gedung Perintis Pembangunan” tentulah pas.
Kalau mau
bicara tentang gedung perintis kemerdekaan, yang paling pas
adalah bekas rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol
No 1 (waktu itu Miyako Dori, Jakarta Pusat). Gedung ini sekarang
mendapat predikat “Museum Perumusan Naskah Proklamasi”
(Formulation of Proclamation Text Museum). Seharusnya ada pula
penyebutan “Gedung Perintis Kemerdekaan”.
Di
tempat ini anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokoritu Zyunbi Tyoosakai)
mengadakan sidang pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945
(Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), diterbitkan Sekretariat Negara, cetakan kelima edisi III,
1995, semasa Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono). Badan ini
diketuai Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, dibantu Itibangase
Yosio dan RP Soeroso (keduanya wakil ketua), beranggota 60 orang
dan anggota tambahan enam orang.
Jadi,
konsesi dan filosofi apa yang ingin dimasyarakatkan dengan
tulisan “Gedung Perintis Kemerdekaan” atas “Gedung Pola”?
Menyedihkan dan memprihatinkan. Pada zaman sekarang sangat susah
menemukan saksi yang bisa menceritakan secara lengkap
tentang hal-ihwal gedung ini. Akan tetapi, berapa juta warga dan
mahasiswa yang terkecoh dan meyakini benarnya tulisan tersebut
karena dibuat oleh pemerintah.
Padahal,
kualitas informasi tersebut bobrok adanya. Informasi yang tidak
ada nilai, hanya merusak pikiran sehat, dan pikiran jernih.
Tanaman
pohon hias untuk pembatas halaman ternyata hanya menjadikan
tempat ideal untuk pacaran dan orang tidur. Setidaknya itu yang
Kompas lihat ketika beberapa kali berkunjung pada siang hari.
“Tugu Proklamasi”
Di
dekat pintu keluar ada papan berwarna coklat bertuliskan “Monumen
Proklamasi Kemerdekaan RI”. Tulisan lain, “Jakarta Metropolitan
City, Tourism Development Board” dan angka 59, mungkin nomor
papan ini. Penyebutan nama monumen proklamasi kemerdekaan itu
tidak jelas untuk bangunan mana karena “Tugu Petir” yang
menjulang tinggi terletak sekitar 50 meter di belakangnya,
terhalang halaman yang ditanami pohon kelapa dan tumbuhan lain.
Adanya rumah berukuran sekitar 8 x 6 meter yang berjarak
lima meter di belakang papan memberikan kesan “rumah itulah
monumen proklamasi”. Padahal, rumah tersebut untuk, katakanlah,
kantor.
Di
sisi lain dari pintu keluar ini ada papan petunjuk yang lebih
besar bertuliskan Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI
Soekarno-Hatta, dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta. Sekitar 100
meter di belakangnya di sebelah selatan memang ada monumen
Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi, diresmikan Presiden
Soeharto tanggal 17 Agustus 1980. Aneh juga, antara nama dan
monumen letaknya berjauhan.
Di
antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya “Tugu
Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang langsung
terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17
Agustus 1946 di masa Sekutu berkuasa. Di atas tulisan yang
dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, “Atas Oesaha Wanita
Djakarta”. Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi
dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip
lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya
yang bergambar api berkobar.
Kisah tugu
ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam
buku 19 Desember 1948
Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta,
hasil wawancara dengan Titiek WS. Buku yang diterbitkan Yayasan
19 Desember 1948 (cetakan pertama 1998) itu berisi perjuangan
bangsa Indonesia melawan Belanda serta 52 tulisan saksi dan
pelaku sejarah perang kemerdekaan Indonesia.
Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang
mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu
peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan
Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien
Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan
nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores
Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang
Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama
kawan-kawan lain.
Pada
menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta
Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada
larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam
pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi
tragedi seperti di Amritsar (India).
Pucuk
dicinta ulam tiba. Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di
Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang
bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian,
memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak
terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri
Sutan Sjahrir.
Peristiwa
mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po
memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang
mereka sebut “Tugu Linggarjati” harus dimusnahkan. Pendapat yang
aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November
1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut
Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah
wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu
lenyap.
Bersama
sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan
Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam
kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang
tadinya melekat di tugu. Atas saran para wanita yang hadir,
lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.
Tahun 1968
kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu
proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif,
terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran
tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk
belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli
marmer-marmer itu dengan harga tinggi.
Akhirnya,
pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri
Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh
masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan
Wakil Presiden Drs Moh Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956).
Ini menunjukkan tingginya nilai perjuangan tugu peringatan
yang dibangun oleh para wanita itu.
Kisah
menarik ini seharusnya bisa dibaca di lokasi ini, menjadi acuan
bagi oknum yang suka mengotori bangunan untuk sadar. Ada oknum
organisasi mahasiswa yang menulis “2003 FKPPRI DKI” dengan cat
kuning di marmer naskah proklamasi dan peta Indonesia. Ada pula
tulisan grup pemuda berisi nama-nama anggotanya. Tulisan dari
mereka yang tangannya gatal dan tidak peduli dengan nilai
sejarah.
60 tahun Indonesia
Di
lokasi proklamasi sekarang ini tidak tergambar sejarah
kepahlawanan bangsa merebut kemerdekaan. Hati menangis, rasa
sedih dan prihatin yang muncul. Lantai di pelataran depan Patung
Bung Karno-Bung Hatta banyak yang dicungkil orang. Ada yang sudah
diperbaiki dengan disemen, tetapi masih banyak yang
terpotong-potong sisa tangan jahat.
Republik
Indonesia tahun 2005 berusia 60 tahun. Selama ini peringatan hari
kemerdekaan dilaksanakan di halaman depan Istana Merdeka, tempat
bekas kantor dan kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Padahal,
jati diri Indonesia berada di lokasi proklamasi di Jalan
Proklamasi 56. Merebut kemerdekaan dengan cara dramatik
berlangsung di tempat ini, ketika bala tentara Jepang di Jawa
masih berkuasa walaupun Tokyo sudah takluk kepada Sekutu
tanggal 15 Agustus 1945.
Lokasi
proklamasi kini disia-siakan. “Kembalikan jati diri Indonesia!”
Itulah yang harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan.
Lokasi ini, kalau diratakan dan didesain ulang, hampir seluas
halaman Istana Merdeka.
Jangan
dilupakan pula, dibangun gedung perpustakaan untuk buku-buku
kisah perjuangan bangsa dan informasi lain tentang kepahlawanan
yang murni. Masih cukup waktu untuk berbuat ke arah itu. Martabat
bangsa dengan segala dimensinya akan muncul dan lokasi ini
menjadi obyek pariwisata yang menjanjikan secara global.
Alangkah
membanggakan dan menggugah kepahlawanan dalam berjuang di alam
merdeka bila peringatan HUT Ke-60 Indonesia dirayakan di tempat
lahirnya jati diri Indonesia.
Di
tempat kediamannya ini, Presiden Soekarno pernah menulis, “Sedjak
1 September 1945 kita meneriakan pekik ’Merdeka’. Dengoengkan
teroes pekik itu, sebagai dengoengan Djiwa yang merdeka! Djiwa
merdeka, jang berdjoang dan bekerdja! BERDJOANG dan BEKERDJA.
Buktikan itu! (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).
Wallahu ‘alam bis-sawab. *
Oleh: M Sjafe’i Hassanbasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar