Minggu, 16 Februari 2014

Pembodohan dan Pemalsuan Sejarah di Lokasi Proklamasi

“Di mana letaknya tempat yang disebut ’Gedung Proklamasi’?” Pertanyaan yang sederhana mengenai tempat kelahiran negara Indonesia, tetapi jawaban yang muncul banyak mengarah kepada “tidak tahu”. Sesungguhnya, jawaban “tidak tahu” jauh lebih baik daripada percaya kepada informasi yang sekarang terdapat di lokasi ini. Sangat menyedihkan, apa yang dimasyarakatkan oleh Pemprov DKI Jakarta mengenai “Gedung Proklamasi” kenyataannya mengandung pembodohan dan manipulasi data sejarah. Mengapa demikian?

Kediaman Bung Karno inilah yang dulu disebut “Gedung Proklamasi”, karena di tempat ini proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta hari Jumat legi (manis) tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan peringatan turunnya Al Quran (Nuzulul Quran, sehingga khotbah para khatib shalat Jumat pun menginformasikan peristiwa penting tentang kelahiran bangsa dan negara Indonesia).

Sayang seribu kali sayang, rumah historis ini musnah sudah sejak tahun 1960 (43 tahun lalu). Kecuali lahan, tidak sedikit pun bangunan tersisa. Tidak ada lagi peninggalan sejarah kemerdekaan yang dapat dijadikan kenangan bagi generasi penerus. Tidak ada informasi yang natural, normatif, orisinal, sesuai hakikat peristiwa yang terjadi di kediaman Bung Karno ini.

Ceritanya, tahun 1960 Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, “Tugu Petir”, yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan “Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.
 
Menjawab kebohongan

Melihat data di atas, sungguh aneh dan ajaib ada papan petunjuk di Jalan Proklamasi bahwa belok kiri menuju “Gedung Proklamasi”. Tidak yakin dengan keterangan ini karena papan petunjuk ini dibuat oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta? Kerja pemerintah daerah ini pastilah melibatkan dinas atau instansi terkait, tidak asal-asalan.

Ada data autentik yang menjawab hal ini. Lihat halaman 170 buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 (cetakan keenam 1985) berjudul “Peresmian Dimulainya Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Tulisan yang tercantum, antara lain, “Presiden Soekarno meresmikan dimulainya Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 dalam suatu upacara pencangkulan tanah di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta”.

Kata pengantar buku disampaikan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono SH selaku Ketua Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan RI XXX. Buku yang hak ciptanya dimiliki Sekretariat Negara dan dicetak pertama kali tahun 1977 itu memuat pula sambutan Presiden Soeharto. Jadi, buku bersampul reproduksi lukisan Dullah milik presiden waktu itu, Soeharto, adalah dokumen resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia.

Data akurat tentang “Gedung Pola” ditulis sebagai berikut: Di halaman belakang Gedung Proklamasi yang kemudian dirobohkan dibangun Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (Gedung Pola). Pada masa ini dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana. Di bidang industri, titik berat diletakkan kepada pembangunan industri berat dan industri kimia dasar. Antara lain mulai dibangun pabrik super- fospat di Cilacap (Jawa Tengah), pabrik peleburan baja di Cilegon (Jawa Barat), serta pabrik semen, pabrik gula, dan pabrik kertas di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.

Apakah informasi ini diperhatikan Pemprov DKI Jakarta? Kalau “ya”, cerita di Jalan Proklamasi 56 tentulah tidak seperti sekarang. Amburadul, penuh kebohongan, dan pemalsuan sejarah yang merugikan generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan.

Perhatikan halaman utara “Gedung Pola” (menghadap Kantor Telkom), ada baliho bertuliskan huruf-huruf besar: GEDUNG PERINTIS KEMERDEKAAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baliho berarti publikasi yang besar-besaran agar menarik masyarakat. Di bagian belakang gedung juga ada tulisan serupa yang ditempel ke tembok menghadap lokasi proklamasi. Beberapa hurufnya rusak dan menggelantung, menandakan tidak terkontrol.

Istilah “Gedung Perintis Kemerdekaan” jelas salah, salah besar dalam arti sejarah, bahasa, dan pengertian politik. Dari segi sejarah, gedung ini dibangun hampir 16 tahun kemudian setelah kemerdekaan (17 Agustus 1945-1 Januari 1961) dan diberi nama “Gedung Pola”. Dari segi bahasa, menurut KBBI, kata perintis berarti usaha pertama atau permulaan; pembuka jalan. Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta tahun 1963 adalah pameran pertama tentang pembangunan setelah Indonesia merdeka. Kalau mau jujur, “Gedung Pola” disebut “Gedung Perintis Pembangunan” tentulah pas.

Kalau mau bicara tentang gedung perintis kemerdekaan, yang paling pas adalah bekas rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No 1 (waktu itu Miyako Dori, Jakarta Pusat). Gedung ini sekarang mendapat predikat “Museum Perumusan Naskah Proklamasi” (Formulation of Proclamation Text Museum). Seharusnya ada pula penyebutan “Gedung Perintis Kemerdekaan”.

Di tempat ini anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokoritu Zyunbi Tyoosakai) mengadakan sidang pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), diterbitkan Sekretariat Negara, cetakan kelima edisi III, 1995, semasa Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono). Badan ini diketuai Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, dibantu Itibangase Yosio dan RP Soeroso (keduanya wakil ketua), beranggota 60 orang dan anggota tambahan enam orang.

Jadi, konsesi dan filosofi apa yang ingin dimasyarakatkan dengan tulisan “Gedung Perintis Kemerdekaan” atas “Gedung Pola”? Menyedihkan dan memprihatinkan. Pada zaman sekarang sangat susah menemukan saksi yang bisa menceritakan secara lengkap tentang hal-ihwal gedung ini. Akan tetapi, berapa juta warga dan mahasiswa yang terkecoh dan meyakini benarnya tulisan tersebut karena dibuat oleh pemerintah.

Padahal, kualitas informasi tersebut bobrok adanya. Informasi yang tidak ada nilai, hanya merusak pikiran sehat, dan pikiran jernih.
Tanaman pohon hias untuk pembatas halaman ternyata hanya menjadikan tempat ideal untuk pacaran dan orang tidur. Setidaknya itu yang Kompas lihat ketika beberapa kali berkunjung pada siang hari.
 
“Tugu Proklamasi”

Di dekat pintu keluar ada papan berwarna coklat bertuliskan “Monumen Proklamasi Kemerdekaan RI”. Tulisan lain, “Jakarta Metropolitan City, Tourism Development Board” dan angka 59, mungkin nomor papan ini. Penyebutan nama monumen proklamasi kemerdekaan itu tidak jelas untuk bangunan mana karena “Tugu Petir” yang menjulang tinggi terletak sekitar 50 meter di belakangnya, terhalang halaman yang ditanami pohon kelapa dan tumbuhan lain. Adanya rumah berukuran sekitar 8 x 6 meter yang berjarak lima meter di belakang papan memberikan kesan “rumah itulah monumen proklamasi”. Padahal, rumah tersebut untuk, katakanlah, kantor.

Di sisi lain dari pintu keluar ini ada papan petunjuk yang lebih besar bertuliskan Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta, dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta. Sekitar 100 meter di belakangnya di sebelah selatan memang ada monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi, diresmikan Presiden Soeharto tanggal 17 Agustus 1980. Aneh juga, antara nama dan monumen letaknya berjauhan.

Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, “Atas Oesaha Wanita Djakarta”. Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.

Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku 19 Desember 1948 
Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta, hasil wawancara dengan Titiek WS. Buku yang diterbitkan Yayasan 19 Desember 1948 (cetakan pertama 1998) itu berisi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda serta 52 tulisan saksi dan pelaku sejarah perang kemerdekaan Indonesia.

Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.

Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).

Pucuk dicinta ulam tiba. Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut “Tugu Linggarjati” harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.

Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.

Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.

Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden Drs Moh Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956). Ini menunjukkan tingginya nilai perjuangan tugu peringatan yang dibangun oleh para wanita itu.

Kisah menarik ini seharusnya bisa dibaca di lokasi ini, menjadi acuan bagi oknum yang suka mengotori bangunan untuk sadar. Ada oknum organisasi mahasiswa yang menulis “2003 FKPPRI DKI” dengan cat kuning di marmer naskah proklamasi dan peta Indonesia. Ada pula tulisan grup pemuda berisi nama-nama anggotanya. Tulisan dari mereka yang tangannya gatal dan tidak peduli dengan nilai sejarah.
 
60 tahun Indonesia

Di lokasi proklamasi sekarang ini tidak tergambar sejarah kepahlawanan bangsa merebut kemerdekaan. Hati menangis, rasa sedih dan prihatin yang muncul. Lantai di pelataran depan Patung Bung Karno-Bung Hatta banyak yang dicungkil orang. Ada yang sudah diperbaiki dengan disemen, tetapi masih banyak yang terpotong-potong sisa tangan jahat.

Republik Indonesia tahun 2005 berusia 60 tahun. Selama ini peringatan hari kemerdekaan dilaksanakan di halaman depan Istana Merdeka, tempat bekas kantor dan kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Padahal, jati diri Indonesia berada di lokasi proklamasi di Jalan Proklamasi 56. Merebut kemerdekaan dengan cara dramatik berlangsung di tempat ini, ketika bala tentara Jepang di Jawa masih berkuasa walaupun Tokyo sudah takluk kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.

Lokasi proklamasi kini disia-siakan. “Kembalikan jati diri Indonesia!” Itulah yang harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan. Lokasi ini, kalau diratakan dan didesain ulang, hampir seluas halaman Istana Merdeka.

Jangan dilupakan pula, dibangun gedung perpustakaan untuk buku-buku kisah perjuangan bangsa dan informasi lain tentang kepahlawanan yang murni. Masih cukup waktu untuk berbuat ke arah itu. Martabat bangsa dengan segala dimensinya akan muncul dan lokasi ini menjadi obyek pariwisata yang menjanjikan secara global.

Alangkah membanggakan dan menggugah kepahlawanan dalam berjuang di alam merdeka bila peringatan HUT Ke-60 Indonesia dirayakan di tempat lahirnya jati diri Indonesia.

Di tempat kediamannya ini, Presiden Soekarno pernah menulis, “Sedjak 1 September 1945 kita meneriakan pekik ’Merdeka’. Dengoengkan teroes pekik itu, sebagai dengoengan Djiwa yang merdeka! Djiwa merdeka, jang berdjoang dan bekerdja! BERDJOANG dan BEKERDJA. Buktikan itu! (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).

Wallahu ‘alam bis-sawab. *
Oleh: M Sjafe’i Hassanbasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar