Pengertian Etimologis
(Lughawi)
Istilah sejarah dalam bahasa arab
dikenal dengan tarikh, dari akar kata arrakha (a-r-kh),yang
berarti menulis atau mencatat; dan catatan tentang waktu serta peristiwa.[1]
Akan tetapi, istilah tersebut tidak serta merta hanya berasal dari kata ini.
Malah ada pendapat bahwa istilah sejarah itu berasaldari istilah bahasa Arab syajarah,
yang berarti pohon atau silsilah. Makna silsilah ini lebih tertuju pada
makna padanan tarikh tadi; termasuk kemudian dengan padanan pengertian
babad, mitos, legenda dan seterusnya.[2]
Syajara berarti terjadi, syajarah an-nasab berarti pohon
silsilah.
Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa,
asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu
terdapat beberapa variasi, meskipun begitu, banyak yang mengakui bahwa istilah
sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa
Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa
Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang
terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.
Menilik pada makna secara
kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian
sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah
waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung
mengatasi masalah ini dengan membuat periodesasi.[3]
Pengertian Terminologis (Istilahi)
Istilah
sejarah, dalam pengertian terminologis atau istilahi, juga memiliki
beberapa variasi redaksi. R.G. Collingwood, misalnya
mendefinisikan sejarah dengan ungkapan history is the history of thought (Sejarah
adalah sejarah pemikiran); history is a kind of research or inquiry (Sejarah
adalah sejenis penelitian atau penyelidikan). Pada kesempatan lain, Collingwood
memaknakan sejarah (dalam artian penulisan sejarah atau historiografi), seperti
membangun dunia fantasi (are peaple who bulid up a fantasy-word).[4]
Nouruzzaman Shiddiqie mendifinisikan sejarah sebagai
peristiwa masa lampau yang tidak hanya sekadar memberi informasi tentang
terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberikan interpretasi
atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum sebab-akibat.[5]
Jauh
sebelumnya, Ibn Khaldun (1332 – 1406), dalam kitabnya al-Muqaddimah,
telah mendefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umat
manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada
watak masyarakat itu, seperti kelahiran, keramah-tamahan, dan solidaritas
golongan; tentang revolusi dan pemberontakan rakyat melawan golongan lain;
akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam-macam kegiatan
dan kedudukan orang, baik untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam
ilmu pengetahuan, dan pada umunya tentang segala macam perubahan yang terjadi
di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.[6]
R.Moh.Ali, mengemukakan pengertian
sejarah mengacu dalam tiga makna :
1.
Sejumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian
dan peristiwa kenyataan.
2.
Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian
peristiwa realita.
3.
Ilmu yang bertugas menyelidiki
perubahan-perubahan, kejadian dan peristiwa realitas.[7]
Menurut
Sartono Kartodidjo, sejarah dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu sejarah
mentalitas (mentalited history), sejarah sosial
(sosiological
history), dan sejarah struktural (structural history).[8]
Hegel berpendapat, bahwa sejarah
terbagi menjadi sejarah asli, sejarah reflektif, dan sejarah filsafati. Pertama
sejarah asli, yang memaparkan sebagian besar terbatas pada perbuatan,
peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan di hadapan mereka. Kedua sejarah
reflektif, adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang
dengannya penulis sejarah berhubungan. Ketiga sejarah filsafati. Jenis
ini tidak menggunakan sarana apapun kecuali pertimbangan pemikiran terhadapnya.
Sejarah adalah rekonstruksi masa
lalu,
yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah dipikirkan, dikejakan, dikatakan,
dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun
kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri.[9]
Sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan, bahkan,
untuk masa akan datang. Oleh kerenanya, orang tidak akan belajar sejarah kalau
tidak ada gunanya. Kenyataannya, sejarah terus ditulis orang, di semua
peradaban dan disepanjang waktu. Hal ini, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa
sejarah itu perlu.
Sejarah
merupakan suatu dialog yang tiada akhir antara masa kini dan masa lalu. Ini
dapat dilihat berdasarkan kerangka keragaman (diversity), perubahan (change),
dan kesinambungan (continuity) melalui dimensi waktu.[10]
Sejak
awal penulisan sejarah (historiografi) identik dengan
politik. Bahkan Sir John Seeley, sebagaimana dikutip Mark M.Krug, mengatakan “History
is past politics” dan politik adalah sejarah masa kini. Persepsi
ini terbentuk karena kenyataan bahwa sejarah dianggap atau diperlakukan sebagai
sejarah raja-raja, sejarah timbul atau tenggelamnya para penguasa, sejarah naik
dan turunnya dinasti-dinasti, sejarah bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik
dan sebagainya. Pada perkembangan penulisan sejarah kekinian berkembang tiga
jalur :
1)
Perkembangan sejarah politik yang dominan,
2)
Perkembangan sejarah sebagai biografi, dan
3)
Teori sejarah orang besar.
Sumber:
[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya;
Pustaka Progressif, 1997), hal 17; Lihat Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur, Lisan
al-Arab , Vol 3, (Beirut: Dar al-Lisan al-Arab, 1970), hal 481.
[2] Sidi Gazalba, Pengantar Ilmu Sejarah, (jakarta: Bhratata,
1981), hal 11;Lihat K.Bertens, Panorama
Fislafat Modern, (Jakarta, Gramedia, 1987); dan hariono, Mempelajari
Sejarah Secara Efektif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm 51;
Lihat juga Cf.Lois Cottschalk, Mengerti
Sejarah, terj Nugroho Noto Susanto, (Jakarta: UI Press, 1985),
hlm.27.
[3] Gordon Leff, History end Social Teory, (New
York, Anchor Book, 1971).hlm. 117
[4] R.G. Collingwood, The Idea of History, (London:
Oxford University Press, 1976). Hlm.9 dan 2.
[5] Nouruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta,
Nurcahaya, 1983), hlm.5.
[6] Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut;
al-Mathba’ah al Khaldun, cet II, 1886), hlm 2-3. terj Ahmadie Thoha, Muqaddimah
Ibn Khaldun, (Jakarta,Pustaka Firdaus, 1986). Hal 12-13.
[8] Sartono Kartodirdjo, “Teori Sejarah dan
Masalah Historiografi”,dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta : Persembahan
kepada Teuku Ibrahim Alfian. (Jakarta, Yayasan Masyarakat Sejarawan
Indonesia dan Sinergis Press, 2002), hlm 5
[9] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah , Bentang,
Yogyakarta, cetakan kelima Juli 2005, hal 18
[10] Nur Huda, Islam Nusantara, Ar-RuzMedia,
Yogyakarta, 2007, hal 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar