Perayaan Hari Kartini baru beberapa hari yang
lalu, tepatnya tanggal 21 April 2014. Hari ini saya menemukan tulisan yang
berjudul Mitos Kartini & Manipulasi Sejarah. "Mengapa Harus
Kartini?" di salah satu blog. Berikut adalah isi blog tersebut. Tulisan ini
tidak ada maksud untuk copy paste karya orang dengan tujuan materi atau untuk
kepentingan lainnya. Namun saya rasa ini adalah hal yang penting untuk
dibagikan kepada khalayak banyak. Dan saya mulai dari diri saya dan teman-teman
saya yang membaca tulisan ini. Tujuaannya adalah untuk mengkritik fenomena yang
telah mengakar di negara ini. Ketidaktahuan akan sejarah bisa menyebabkan orang
hanya mengekor atas apa yang orang ramai-ramai lakukan, tanpa adanya rasa ingin
tahu mengapa mereka melakukan hal itu. Untuk tujuan itulah tulisan ini saya
bagikan kepada mereka yang belum mengetahui.
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia
(INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal
berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan
sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: "Mengapa
Harus Kartini?"
Sejarawan yang menamatkan Magister
bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: "Mengapa
Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari
Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan
diteladani dibandingkan Kartini?"
Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya
pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr.
Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’
R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979),
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis
sebuah artikel berjudul "Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat
Kita". Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. "Kita
mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari
orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun
kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut", tulis Harsja W.
Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Prof. Harsja juga menggugat dengan
halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita
Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia.
Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat
dari Aceh, dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle
dari Sulawesi Selatan.
Sultanah Safiatuddin dari Kesultanan Aceh
Datu ( Ratu ) Siti Aisyah We Tenriolle (kiri)
Anehnya, tulis Prof. Harsja, dua wanita itu tidak
masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia
(Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua
wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang
sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh
dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa
pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir
karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Ia juga berhasil menampik usaha-usaha
Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil
memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah
memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan
pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja
Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli
dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang
Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari
sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar
epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini
mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang
dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penokohan Kartini Pilihan Belanda.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap
penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih
oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita
pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink
suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia
Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama
dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis
tentang kisah ini: "Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi
semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de
Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana
Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak".
Ringkasnya,
Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis
gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini
kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai
perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur
Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini
sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam
tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon
menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich.
Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness
Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia
dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda
de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan
pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan
Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana
ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di
Belanda.
Harsja Bachtriar kemudian
mencatat: "Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini
sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin
tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan
Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun
tindakan-tindakan mereka".
Karena itulah, simpul guru besar
UI tersebut: "Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi
wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri
lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih
lanjut".
"Mengapa harus Kartini?"
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar
dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda.
Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje
dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah
seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk
meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib
al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis
Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje "menyamar" menjadi Muslim dengan nama Abdul Gaffar
Apa hubungan
Kartini dengan Snouck Hurgronje?
Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang
beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang
orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam
soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902,
Kartini menulis:
"Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada
lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila
Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya
bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada
hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?
Ataukah sebaiknya saya
memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui
sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak
perempuannya". (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M.
Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck
Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul
Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok
dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk
menaklukkan Islam.
Mengikuti jejak orientalis
Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck
sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi
murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah
Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld,
pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya
sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini
sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga
ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa.
Padahal, Snouck sendiri menulis
tentang Islam: "Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan
ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan
peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu
pun memberi kita hak untuk mengharapkannya."
Snouck Hurgronje (lahir: 1857)
adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906.
Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam
masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES,
1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat
Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda.
Salah satu strateginya, adalah
melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga
mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan
lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang
mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa.
Snouck optimis, rakyat banyak
akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia
akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam
kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan
bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar
sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan
adat.
Aqib Suminto mengupas beberapa
strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah
yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui
dilancarkan Kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan
halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya
(Islam) melalui asosiasi kebudayaan.
Mungkin, itulah strategi dan
taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu
pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk menaklukkan Islam. Bahkan, jika
kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. "Kader-kader
Snouck" dari kalangan pribumi Muslim sudah berjubel.
Saya mempercayai Ia (yang
Maha Kuasa), dan saya menganggap semua agama itu baik.
Saya juga mempercayai teman-teman
sekalian dapat mengartikannya dalam hal yang baik.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar