Senin, 31 Maret 2014

PERAYAAN KEAGAMAAN



PERAYAAN KEAGAMAAN
(Selamatan, Nyadran atau Sadran, Ziarah)
Pendahuluan
Mendengar kata perayaan tentu kita akan terbayang dengan berkumpulnya banyak orang pada suatu tempat. Kata perayaan, berasal dari kata raya, dalam kamus besar bahasa Indonesia kata raya mempunyai arti besar. Perayaan adalah persta (keramaian) untuk merayaakan suatu peristiwa. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perayaan keagamaan adalah suatu acara yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk merayakan atau memperingati suatu peristiwa pada agama tertentu.
Membicarakan tentang perayaan keagamaan tentu setiap agama ada yang namanya perayaan. Perayaan adalah salah satu wujud perenungan kembali kejadian-kejadian yang sifatnya sakral. Kita bisa melihat dalam Islam ada perayaan Idul Fitri, Idul Adha, Kristiani dengan perayaan Natal, Buddha dengan hari raya Waisak, Hindu dengan perayaan Hari Nyepi dan seterusnya.
Pergeseran makna sebuah perayaan keagamaan pun tidak bisa statis. Seiring dengan berubahnya keadaan sosial masyarakat, maka berubah pula makna-makna perayaan yang terbangun. Masyarakat sekarang yang sudah memasuki budaya konsumerisme pun turut andil dalam membuat paradigma baru perayaan keagamaan, yakni menuju perayaan yang lebih bersifat hedonis dan konsumtif.
Hal ini bisa nampak ketika perayaan-perayaan keagamaan sekarang lebih menitikberatkan pada unsur perayaan duniawinya saja, namun seringkali melupakan substansi yang sesungguhnya harus didapatkan ketika melakukan perayaan tersebut. Lihat saja bagaimana sebuah baju baru, misalnya, telah menjadi seperti sebuah keharusan untuk merayakan festival keagamaan, belum lagi ditambah dengan budaya konsumtif yang turut serta “memeriahkan” perayaan keagamaan. Rasanya sebuah perayaan keagamaan tidak akan lengkap tanpa adanya kehadiran unsur-unsur duniawi.
Pada kali ini akan dibahas mengenai perayaan keagamaan yang erat kaitannya dengan Islam yang ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih mengadakan acara selamatan, nyadaran, dan ziarah. Untuk lebih lanjut akan kita bahas lebih lanjut.
A.    Selamatan
Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa, yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya, dengan melibatkan handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan sebagainya yang semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja untuk diminta perlindungannya, restunya dan kesediaannya untuk tidak mengganggu.[1] Adanya selamatan atau slametan ini tidak bisa lepas dengan adanya pengaruh Animisme-Dinamisme dan Hindu Budha. Hal itu tentu beralasan karena sejarah panjang masyarakat di Jawa.
Masuknya Islam ke hati orang Jawa, nampaknya menambah wawasan dalam keyakinan mereka. Tetapi dengan menerima Islam itu tidaklah dengan sendirinya berarti mereka melenyapkan kepercayaan-kepercayaan lama pra Islam. Mereka menafsirkan dan memahami al-Quran secara “eclectic”, sebagai karet yang bisa diulur-ulur. Mereka mengucapkan syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan kepercayaan kepada Bethara Guru, Bethara Wisnu, Dewi Sri dan lain-lain masih tetap kuat. Di sini muncul kecenderungan kepada sinkretisme.[2] Dengan demikian setelah datangnya Islam, pada orang jawa terdapat berbagai keperacayaan yang bercampur menjadi satu: Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha dan Islam. Hal ini nampak jelas pada aktifitas upaca selamatan yang dilakukan oleh orang Islam Jawa. Kalau sebelumnya upacara selamatan hanya mengakomodasi kepercayaan Animisme-Dinamisme dan Hindu Budha, maka pada saat mereka sudah menerima Islam, upacara selamatan dilengkapi dengan unsur-unsur Islam di dalamnya. Sehubungan dengan ini Hildred Geertz menggambarkan tentang selamatan bagi orang Jawa sebagai berikut:
Upacara pokok bagi orang Jawa adalah slametan, dengan mengundang sejumlah pria tetangga terdekat dengan doa dalam bahasa Arab oleh seorang dua orang yang pandai dalam hal itu serta dengan cermat terinci semua dewa Hindu-Budha, Allah, Muhammad dan Fatimah arwah baureksa desa dan sederetan roh tidak bernama, semua diminta perlindungannya, restunya atau kesediaannya untuk tidak mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsur-unsur terpokok dalam kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara tertentu lainnya misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.[3]
            Pada upacara selamatan yang hadir tidak hanya orang-orang yang masih hidup, tetapi turut diundang orang-orang yang telah meninggal. Orang-orang yang telah meninggal ini biasanya disebut dengan roh-roh leluhur. Yang dimaksud dengan roh-roh leluhur adalah nenek moyang mereka atau para pendahulu mereka yang sudah mati dan pernah berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya orang-orang yang telah berjasa dalam mendirikan suatu desa atau cakal bakal desa, yang biasanya kemudian disebut sebagai danyang desa. Selain itu juga orang-orang yang pernah mendirikan suatu kerajaan dan berjasa dalam memakmurkannya. Juga wali sanga yang dianggap berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa bahkan Nabi Muhammad sebagai penyebar Islam di seluruh dunia. Di samping itu juga roh-roh leluhur yang menjadi penghuni alam sekitar, misalnya roh penghuni rumah, roh penghuni jembatan, roh penghuni perempatan, roh penghuni sumur, roh penghuni kuburan dan roh-roh yang baik maupun yang jahat semuanya diundang guna dimintai pertolongannya agar berkenan merestui dan tidak mengganggu.
            Di indonesia khususnya jawa banyak acara selamatan. Mulai dari selamatan untuk usia kehamilan ( satu bulan sampai sembilan bulan) upacara selametan Kematian (mulai dari 7 hari, 40 hari, 100 hari, dst). Itu semua adalah bagian dari macam-macam selametan.  
B.     Nyadran
Istilah nyadaran atau sadranan saat ini memiliki arti atau pengertian yang berbeda-beda, namun tetap memiliki kemiripan makna dengan upacara Qraddha pada masa Majapahit. Upacara Qraddha sendiri menurut beberapa ahli berasal dari kepercayaan asli masyarakat Jawa yakni pemujaan leluhur, kata Qraddha berasal dari bahasa sansekerta Sraddha yang berarti keyakinan, kepercayaan atau percaya. Selanjutnya Sraddha juga berarti a ceremony in honour and for the benefit at deat relatives, yang berarti “upacara penghormatan dan untuk kepentingan si mati (orang-orang yang telah meninggal).[4]
Upacara Sraddha atau Qraddha, adalah ritus yang intinya mengacu pada penghormatan leluhur, upacara itu sangat terkenal pada masa kerajaan Majapahit yang diperintah oleh Hayam Wuruk. Berbeda dengan upacara pada masa Animisme yang menempatkan arwah leluhur sebagai makhluk pujaan, pada upacara Qraddha leluhur tidak lagi dipuja melainkan hanya dihormati atau dimuliakan saja. Apakah akata Sadran berasal dari kata Sraddha memang belum diketahui, namun jika diamati ada kemiripan atau unsur-unsurnya sama, unsur-unsur tersebut antara lain adanya upacara penghormatan terhadap roh leluhur, bentuk sesaji dan unsur sedekah. Adapaun pengertian Sadran atau Nyadaran dari berbagai sumber dalam literatur yakni pembersihan rumah atau makan leluhur.[5]
Nyadaran juga dapat didefinisikan upacara terhadap arwah leluhur atau keluarga yang sudah meninggal yang dilakukan pada bulan Ruwah (Sya’ban). Berdasarkan kepercayaan bahwa sejak tanggal 15 bulan Ruwah sampai akhir, arwah para leluhur keluarga yang sudah meninggal datang berkunjung ke pusara atau makam masing-masing. Bulan Ruwah terkenal sebagai bulan untuk mengirim do’a kepada arwah, karena itu ahli warisnya mendapatkan kesempatan untuk mengadakan hubungan kontak spiritual dengannya.
Macam-macam acara pada upacara Sadran yang sering dilakukan adalah:
1.      Mengunjungi, merawat, membersihkan, menata pusara para leluhur atau keluarga.
2.      Nyekar yaitu Ziarah ke makam dengan menabur bunga disertai do’a, secara dhohir nyekar dilakukan untuk menciptakan keindahan, wewangian dan penghormatan.
3.      Berdo’a dan puji-pujian agar diampuni dosanya.
4.      Menyelenggarakan selamatan sebagai bentuk sedekah dilingkungan makam.
5.      Menyajikan kue tiga serangkai yakni kolak, ketan, dan apem yang melambangkan permohonan kepada Tuhan yang bermakna “sedaya kelepatan kulo suwonaken pengapunten” semua kesalahan saya mohonkan maaf. Istilah Sadranan disebut juga Ruwahan.[6]
Dalam bahasa Inggris istilah Nyadran diartikan dengan kata Aderan, menurut Tim G Bab Cock, Aderan atau Nyadran didefinisikan sebagai “ This small selametan is held by a few older month of ruwah before the fasting month (poso ramadhan) begin” yang berarti selamatan yang dilakukan orang-orang tuan kita di masjid pada hari jumat terakhir pada bulan Ruwah atau Sya’ban sebelum puasa Ramadhan dimulai. Tujuan dari selamatan ini menurut Tim G Bab Cock adalah untuk meninta kekuatan pada arwah agar berhasil dalam menjalankan puasa secara sempurna di bulan Ramadhan.[7]
Dalam tinjauan bahasa Arab Nyadran atau Sadran berasal dari kata Shadara yang berisim masdar Shadran yang berarti kembali, datang atau terbit. Dalam pengertian ini Nyadran berarti sebuah ritual simbolik yang merefleksikan nilai-nilai sejarah untuk diteladani. Sadran yang juga berarti datang atau menziarahi makam untuk mengisi kembali energi spiritual, dan Sadran juga berarti terbit atau upaya mengimplementasikan kesadaran Ilahiyah dan Insaniyah dalam bentuk kongkrtit.[8]
Dari beberapa pengertian yang ada tentang definisi Nyadran dapat ditarik pengertian secara umum bahwa Nyadran atau Sadran adalah bagian dari tradisi budaya masyarakat Jawa sebagai ungkapan atau cara mereka untuk memberi penghormatan kepada leluhur, arwah keluarga, famili yang telah mendahului atau wafat, dengan melaksanakan upacara Nyadran. Makna ini tidak jauh berbeda dengan makna Upacara Qraddha atau Sraddha pada masa kerajaan Majapahit (raja Hayam Wuruk), karena perbedaan waktu atau budaya saja yang melahirkan bentuk upacara yang berbeda.
Jadi hakikatnya dari Nyadran adalah penghormatan arwah leluhur dengan berziarah untuk memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT supaya ahli kubur yang juga leluhur peziarah mendapatkan ampunan dan memperoleh tempat yang layak disisinya. Selain itu Nyadaran dapat juga dijadikan pengeleng-eleng atau peringatan bahwa semua manusia nantinya akan mati atau kembali ke asalnya. Hal ini penting dilakukan karena manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, hanya berperan seperti wayang yang di kendalikan oleh sang dalang, bila saatnya peran sang wayang sudah selesai maka sang dalang pun akan mengembalikan wayang tersebut ke dalam kotak peti wayang.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa semua amal anak manusia yang meninggal akan terputus kecuali tiga perkara yakni amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akan orang tuanya. Walaupun mendo’akan orang yang telah meninggal tidak harus datang kekuburnya, akan tetapi itu sudah menjadi budaya masyarakat bahwa ziarah, dan mendo’akan orang yang telah meninggal serta membersihkan makamnya adalah sesuatu yang lazim untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal.
Dalam sejarah keagamaan penyebaran agama akan selalu sampai dan melewati batas-batas geografis, kepercayaan serta budaya. Dalam proses penyebaran agama itu, terjadinya benturan kebudayaan dapat kita pahami sebagai kontak, hubungan, percampuran atau pertemuan dan peleburan antara nilai-nilai agama serta budaya setempat.[9] Adanya kontak atau hubungan tersebut tidak jarang terjadi saling mengadaptasi, memungut, mengisi dan saling mempengaruhi, fonomena yang terjadi dalam masyarakat seperti ini disebut dengan istilah sinkretisme.[10]
C.    Ziarah
Di Indonesia Ziarah seakan sudah menjadi budaya. Hal itu bisa kita saksikan pada saat menjelang datangnya bulan Ramadhan dan menjelang Hari raya Idul Fitri. Masyarakat berduyun-duyun mendatangi makan keluarganya untuk berziarah. Tujuanya adalah untuk mendo’akan leluhur atau keluarga yang telah meninggal. Berziarah sebenarnya bisa dilakukan kapan saja tidak harus menjelang datangnya bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Nabi Muhammad SAW menyatakan: Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya atau salah satu darinya tiap Jumat, maka dosanya diampuni dan ditulis sebagai orang yang berbuat kebajikan.'' (HR Baihaqi).[11]
Ziarah adalah aktivitas mengunjungi suatu tempat yang dipandang umum oleh masyarakat (peziarah) biasanya diyakini mengandung unsur-unsur keramat, sakral, dan suci.[12]  Secara leksikal bahasa, kata ziarah diserap dari bahasa Arab Ziyarah, yang berarti “berkunjung atau mengunjungi sesuatu”,[13] atau dapat juga bermakna “datang dengan maksud bertemu”.[14]
Ziarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah kunjungan ke tempat yg dianggap keramat atau mulia (makam).[15] Berziarah hukumnya adalah sunah untuk laki-laki. Untuk kaum perempuan hukum berziarah adalah makruh, karena kebiasaan perempuan yang mengunakan perasaan dalam menghadapi masalah, hal itu ditakutkan akan menangis dan berkeluh-kesah sehingga lupa akan kekuasaan Allah. Hal itu sesuai dengan Hadist Nabi. Dari Abu Hurairah, sesugguhnya Rasullulah SAW mengutuk perempuan-perempuan yang berziarah kekuburan. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizi).[16]  Untuk zaman sekerang ini mungkin wanita boleh berziarah ke makam leluhur, atau keluarga yang telah meninggal. Zaman sudah mengalami perubahan tentu hukum akan menyesuaikan dengan zaman asalkan tidak lepas dari esensi dari apa yang dilakukan.
Kesimpulan
Selametan, Nyadaran atau Sadran, dan Ziarah mempunyai esensi yang sama yaitu mendo’akan orang yang telah tiada atau meinggal. Perbedaannya hanya pada cara dan bentuknya. Walaupun Nyadaran dan Slametan itu erat kaitannya dengan pengaruh Animisme atau Hindi-Budha namun itu tidaklahmenjadi persoalan, karena ininti dari keduanya adalah sama yaitu berdo’a untuk keluarga atau leluhur yang telah tiada. Dengan berziarah atau nyadran ke makam leluhurtentu akan mengigatkan kita bahwa kita akan mengalami hal yang sama yaitu meninggal.
Tentu tidak ada salahnya itu dilakukan oleh orang-orang yang masih mempercayai hal-hal tersebut. Bagi orang yang tidak suka atau tidak melakukan itu juga tidak ada masalahnya. Kita dapat berdo’a atau mendo’akan leluhur kita setiap saat kita melakukan sholat.




Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan, Demi Da’wah. Bandung: Al-Ma’arif, 1976
Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Asri. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, tt
Bilal, M. Wasim,  Sinkreteisme dalam Kontak Agama dan Budaya di Jawa, Al-Jami’ah No. 55. 1994 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
----------------------Penyebaran Agama di Jawa dan problematika-problematika Sinkretisme, Jurnal Dakwah No 1 Edisi Juli-Desember 2000
Cock, Tim G Bab,  Kampung Jawa Tondano Religion and Cultural Identity, Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1989
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Hendrosaputra, Waridi, dan Marsono, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa, 1999
Ma’luf al-Yassu’I, Louis, dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’I, Kamus al-Munjid. Beirut: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1997
Murder P.J, Zoet, Old Javanese, Enghlish Dictionary, 2 Vols S. Gravenhage: Martinus Nijhoff 1982
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011
Subagya, Rahmat, Agama Asli Indonesia. Jakarta: Yayasan Harapan, 1981
Yunus, Mahmud,  Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya agung, 1990
http://kbbi.web.id/ziarah di akses 6 Desember 2013


[1] Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm.13.
[2] Rosihan Anwar, Demi Da’wah (Bandung: Al-Ma’arif, 1976), hlm 5.
[3] Hildred Geertz, Keluarga Jawa, terj.Grafiti Pers (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 14.
[4] Zoet Murder P.J Old Javanese, Enghlish Dictionary, 2 Vols S (Gravenhage: Martinus Nijhoff 1982), hlm. 1811-1812.
[5] Rahmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Yayasan Harapan, 1981), hlm. 121
[6] Waridi Hendrosaputra, Marsono, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa, 1999), hlm. 271.
[7] Tim G Bab Cock, Kampung Jawa Tondano Religion and Cultural Identity, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1989), hlm. 63-64.
[8] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), hlm. 231
[9] M. Wasim Bilal, Sinkreteisme dalam Kontak Agama dan Budaya di Jawa, Al-Jami’ah No. 55. 1994 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 110.
[10] M.Wasim Bilal, Penyebaran Agama di Jawa dan problematika-problematika Sinkretisme, Jurnal Dakwah No 1 Edisi Juli-Desember 2000, hlm. 18.
[12] Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 1. 081.
[13] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Asri, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, tt) hlm. 1028.
[14] Louis Ma’luf al-Yassu’I dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’I, Kamus al-Munjid, (Beirut: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1997), hlm. 310.
[15] http://kbbi.web.id/ziarah di akses 6 Desember 2013
[16] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 190-191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar