PERAYAAN
KEAGAMAAN
(Selamatan,
Nyadran atau Sadran, Ziarah)
Pendahuluan
Mendengar kata perayaan tentu kita akan terbayang dengan
berkumpulnya banyak orang pada suatu tempat. Kata perayaan, berasal dari kata
raya, dalam kamus besar bahasa Indonesia kata raya mempunyai arti besar.
Perayaan adalah persta (keramaian) untuk merayaakan suatu peristiwa. Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perayaan keagamaan adalah suatu acara
yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk merayakan atau memperingati suatu
peristiwa pada agama tertentu.
Membicarakan tentang perayaan keagamaan tentu setiap agama ada yang
namanya perayaan. Perayaan adalah salah satu wujud perenungan kembali
kejadian-kejadian yang sifatnya sakral. Kita bisa melihat dalam Islam ada
perayaan Idul Fitri, Idul Adha, Kristiani dengan perayaan Natal, Buddha
dengan hari raya Waisak, Hindu dengan
perayaan Hari Nyepi dan seterusnya.
Pergeseran makna sebuah perayaan keagamaan pun tidak bisa statis.
Seiring dengan berubahnya keadaan sosial masyarakat, maka berubah pula
makna-makna perayaan yang terbangun. Masyarakat sekarang yang sudah memasuki
budaya konsumerisme pun turut andil dalam membuat paradigma baru perayaan keagamaan,
yakni menuju perayaan yang lebih bersifat hedonis dan konsumtif.
Hal ini bisa
nampak ketika
perayaan-perayaan keagamaan sekarang lebih menitikberatkan pada unsur perayaan
duniawinya saja, namun seringkali melupakan substansi yang sesungguhnya harus
didapatkan ketika melakukan perayaan tersebut. Lihat saja bagaimana sebuah baju
baru, misalnya, telah menjadi seperti sebuah keharusan untuk merayakan festival
keagamaan, belum lagi ditambah dengan budaya konsumtif yang turut serta
“memeriahkan” perayaan keagamaan. Rasanya sebuah perayaan keagamaan tidak akan
lengkap tanpa adanya kehadiran unsur-unsur duniawi.
Pada kali ini akan dibahas mengenai
perayaan keagamaan yang erat kaitannya dengan Islam yang ada di Indonesia.
Masyarakat Indonesia masih mengadakan acara selamatan, nyadaran, dan ziarah.
Untuk lebih lanjut akan kita bahas lebih lanjut.
A. Selamatan
Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur
terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa,
yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya,
dengan melibatkan handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, arwah setempat, nenek
moyang yang sudah mati dan sebagainya yang semuanya duduk bersama mengelilingi
satu meja untuk diminta perlindungannya, restunya dan kesediaannya untuk tidak
mengganggu.[1]
Adanya selamatan atau slametan ini tidak bisa lepas dengan adanya pengaruh
Animisme-Dinamisme dan Hindu Budha. Hal itu tentu beralasan karena sejarah
panjang masyarakat di Jawa.
Masuknya Islam ke hati orang Jawa,
nampaknya menambah wawasan dalam keyakinan mereka. Tetapi dengan menerima Islam
itu tidaklah dengan sendirinya berarti mereka melenyapkan
kepercayaan-kepercayaan lama pra Islam. Mereka menafsirkan dan memahami
al-Quran secara “eclectic”, sebagai karet yang bisa diulur-ulur. Mereka
mengucapkan syahadat, akan tetapi kenang-kenangan dan kepercayaan kepada
Bethara Guru, Bethara Wisnu, Dewi Sri dan lain-lain masih tetap kuat. Di
sini muncul kecenderungan kepada sinkretisme.[2]
Dengan demikian setelah datangnya Islam, pada orang jawa terdapat berbagai
keperacayaan yang bercampur menjadi satu: Animisme-Dinamisme, Hindu-Budha dan
Islam. Hal ini nampak jelas pada aktifitas upaca selamatan yang dilakukan oleh
orang Islam Jawa. Kalau sebelumnya upacara selamatan hanya mengakomodasi
kepercayaan Animisme-Dinamisme dan Hindu Budha, maka pada saat mereka sudah
menerima Islam, upacara selamatan dilengkapi dengan unsur-unsur Islam di
dalamnya. Sehubungan dengan ini Hildred Geertz menggambarkan tentang selamatan
bagi orang Jawa sebagai berikut:
Upacara
pokok bagi orang Jawa adalah slametan, dengan mengundang sejumlah pria
tetangga terdekat dengan doa dalam bahasa Arab oleh seorang dua orang yang
pandai dalam hal itu serta dengan cermat terinci semua dewa Hindu-Budha, Allah,
Muhammad dan Fatimah arwah baureksa desa dan sederetan roh tidak
bernama, semua diminta perlindungannya, restunya atau kesediaannya untuk tidak
mengganggu. Pembacaan doa-doa itu merupakan unsur-unsur terpokok dalam
kepercayaan kaum tani dan disertai dengan perbuatan upacara tertentu lainnya
misalnya dengan membakar kemenyan dan memberikan sesaji.[3]
Pada upacara selamatan yang hadir
tidak hanya orang-orang yang masih hidup, tetapi turut diundang orang-orang
yang telah meninggal. Orang-orang yang telah meninggal ini biasanya disebut
dengan roh-roh leluhur. Yang dimaksud
dengan roh-roh leluhur adalah nenek moyang mereka atau para pendahulu mereka
yang sudah mati dan pernah berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya orang-orang
yang telah berjasa dalam mendirikan suatu desa atau cakal bakal desa, yang
biasanya kemudian disebut sebagai danyang desa. Selain itu juga
orang-orang yang pernah mendirikan suatu kerajaan dan berjasa dalam
memakmurkannya. Juga wali sanga yang dianggap berjasa dalam menyebarkan
Islam di tanah Jawa bahkan Nabi Muhammad sebagai penyebar Islam di seluruh
dunia. Di samping itu juga roh-roh leluhur yang menjadi penghuni alam sekitar,
misalnya roh penghuni rumah, roh penghuni jembatan, roh penghuni perempatan,
roh penghuni sumur, roh penghuni kuburan dan roh-roh yang baik maupun yang
jahat semuanya diundang guna dimintai pertolongannya agar berkenan merestui dan
tidak mengganggu.
Di indonesia
khususnya jawa banyak acara selamatan. Mulai dari selamatan untuk usia
kehamilan ( satu bulan sampai sembilan bulan) upacara selametan Kematian (mulai
dari 7 hari, 40 hari, 100 hari, dst). Itu semua adalah bagian dari macam-macam
selametan.
B.
Nyadran
Istilah nyadaran atau sadranan saat ini memiliki arti atau
pengertian yang berbeda-beda, namun tetap memiliki kemiripan makna dengan upacara
Qraddha pada masa Majapahit. Upacara Qraddha sendiri menurut beberapa ahli
berasal dari kepercayaan asli masyarakat Jawa yakni pemujaan leluhur, kata
Qraddha berasal dari bahasa sansekerta Sraddha yang berarti keyakinan,
kepercayaan atau percaya. Selanjutnya Sraddha juga berarti a ceremony
in honour and for the benefit at deat relatives, yang berarti “upacara
penghormatan dan untuk kepentingan si mati (orang-orang yang telah meninggal).[4]
Upacara Sraddha atau Qraddha, adalah ritus yang intinya mengacu
pada penghormatan leluhur, upacara itu sangat terkenal pada masa kerajaan
Majapahit yang diperintah oleh Hayam Wuruk. Berbeda dengan upacara pada masa
Animisme yang menempatkan arwah leluhur sebagai makhluk pujaan, pada upacara
Qraddha leluhur tidak lagi dipuja melainkan hanya dihormati atau dimuliakan
saja. Apakah akata Sadran berasal dari kata Sraddha memang belum diketahui,
namun jika diamati ada kemiripan atau unsur-unsurnya sama, unsur-unsur tersebut
antara lain adanya upacara penghormatan terhadap roh leluhur, bentuk sesaji dan
unsur sedekah. Adapaun pengertian Sadran atau Nyadaran dari berbagai sumber
dalam literatur yakni pembersihan rumah atau makan leluhur.[5]
Nyadaran juga dapat didefinisikan upacara terhadap arwah leluhur
atau keluarga yang sudah meninggal yang dilakukan pada bulan Ruwah (Sya’ban).
Berdasarkan kepercayaan bahwa sejak tanggal 15 bulan Ruwah sampai akhir,
arwah para leluhur keluarga yang sudah meninggal datang berkunjung ke pusara
atau makam masing-masing. Bulan Ruwah terkenal sebagai bulan untuk mengirim
do’a kepada arwah, karena itu ahli warisnya mendapatkan kesempatan untuk
mengadakan hubungan kontak spiritual dengannya.
Macam-macam acara pada upacara Sadran yang sering dilakukan adalah:
1.
Mengunjungi,
merawat, membersihkan, menata pusara para leluhur atau keluarga.
2.
Nyekar
yaitu Ziarah ke makam dengan menabur bunga disertai do’a, secara dhohir nyekar
dilakukan untuk menciptakan keindahan, wewangian dan penghormatan.
3.
Berdo’a
dan puji-pujian agar diampuni dosanya.
4.
Menyelenggarakan
selamatan sebagai bentuk sedekah dilingkungan makam.
5.
Menyajikan
kue tiga serangkai yakni kolak, ketan, dan apem yang melambangkan permohonan
kepada Tuhan yang bermakna “sedaya kelepatan kulo suwonaken pengapunten” semua
kesalahan saya mohonkan maaf. Istilah Sadranan disebut juga Ruwahan.[6]
Dalam bahasa Inggris istilah Nyadran diartikan dengan kata Aderan,
menurut Tim G Bab Cock, Aderan atau Nyadran didefinisikan sebagai “ This
small selametan is held by a few older month of ruwah before the fasting month
(poso ramadhan) begin” yang berarti selamatan yang dilakukan orang-orang
tuan kita di masjid pada hari jumat terakhir pada bulan Ruwah atau Sya’ban
sebelum puasa Ramadhan dimulai. Tujuan dari selamatan ini menurut Tim G Bab
Cock adalah untuk meninta kekuatan pada arwah agar berhasil dalam menjalankan
puasa secara sempurna di bulan Ramadhan.[7]
Dalam tinjauan bahasa Arab Nyadran atau Sadran berasal dari kata
Shadara yang berisim masdar Shadran yang berarti kembali, datang atau terbit.
Dalam pengertian ini Nyadran berarti sebuah ritual simbolik yang merefleksikan
nilai-nilai sejarah untuk diteladani. Sadran yang juga berarti datang atau
menziarahi makam untuk mengisi kembali energi spiritual, dan Sadran juga
berarti terbit atau upaya mengimplementasikan kesadaran Ilahiyah dan Insaniyah
dalam bentuk kongkrtit.[8]
Dari beberapa pengertian yang ada tentang definisi Nyadran dapat
ditarik pengertian secara umum bahwa Nyadran atau Sadran adalah bagian dari
tradisi budaya masyarakat Jawa sebagai ungkapan atau cara mereka untuk memberi
penghormatan kepada leluhur, arwah keluarga, famili yang telah mendahului atau
wafat, dengan melaksanakan upacara Nyadran. Makna ini tidak jauh berbeda dengan
makna Upacara Qraddha atau Sraddha pada masa kerajaan Majapahit (raja Hayam
Wuruk), karena perbedaan waktu atau budaya saja yang melahirkan bentuk upacara
yang berbeda.
Jadi hakikatnya dari Nyadran adalah penghormatan arwah leluhur
dengan berziarah untuk memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT supaya ahli kubur
yang juga leluhur peziarah mendapatkan ampunan dan memperoleh tempat yang layak
disisinya. Selain itu Nyadaran dapat juga dijadikan pengeleng-eleng atau
peringatan bahwa semua manusia nantinya akan mati atau kembali ke asalnya. Hal
ini penting dilakukan karena manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, hanya
berperan seperti wayang yang di kendalikan oleh sang dalang, bila saatnya peran
sang wayang sudah selesai maka sang dalang pun akan mengembalikan wayang
tersebut ke dalam kotak peti wayang.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa semua amal anak manusia yang
meninggal akan terputus kecuali tiga perkara yakni amal jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akan orang tuanya. Walaupun mendo’akan
orang yang telah meninggal tidak harus datang kekuburnya, akan tetapi itu sudah
menjadi budaya masyarakat bahwa ziarah, dan mendo’akan orang yang telah
meninggal serta membersihkan makamnya adalah sesuatu yang lazim untuk
dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal.
Dalam sejarah keagamaan penyebaran agama akan selalu sampai dan
melewati batas-batas geografis, kepercayaan serta budaya. Dalam proses
penyebaran agama itu, terjadinya benturan kebudayaan dapat kita pahami sebagai
kontak, hubungan, percampuran atau pertemuan dan peleburan antara nilai-nilai
agama serta budaya setempat.[9]
Adanya kontak atau hubungan tersebut tidak jarang terjadi saling mengadaptasi,
memungut, mengisi dan saling mempengaruhi, fonomena yang terjadi dalam
masyarakat seperti ini disebut dengan istilah sinkretisme.[10]
C.
Ziarah
Di Indonesia Ziarah seakan sudah menjadi budaya. Hal itu bisa kita
saksikan pada saat menjelang datangnya bulan Ramadhan dan menjelang Hari raya
Idul Fitri. Masyarakat berduyun-duyun mendatangi makan keluarganya untuk
berziarah. Tujuanya adalah untuk mendo’akan leluhur atau keluarga yang telah
meninggal. Berziarah sebenarnya bisa dilakukan kapan saja tidak harus menjelang
datangnya bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Nabi Muhammad SAW
menyatakan: Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya atau salah
satu darinya tiap Jumat, maka dosanya diampuni dan ditulis sebagai orang yang
berbuat kebajikan.'' (HR Baihaqi).[11]
Ziarah adalah aktivitas mengunjungi suatu tempat yang dipandang
umum oleh masyarakat (peziarah) biasanya diyakini mengandung unsur-unsur
keramat, sakral, dan suci.[12] Secara leksikal bahasa, kata ziarah diserap
dari bahasa Arab Ziyarah, yang berarti “berkunjung atau mengunjungi
sesuatu”,[13]
atau dapat juga bermakna “datang dengan maksud bertemu”.[14]
Ziarah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah kunjungan
ke tempat yg dianggap keramat atau mulia (makam).[15]
Berziarah hukumnya adalah sunah untuk laki-laki. Untuk kaum perempuan hukum
berziarah adalah makruh, karena kebiasaan perempuan yang mengunakan perasaan
dalam menghadapi masalah, hal itu ditakutkan akan menangis dan berkeluh-kesah
sehingga lupa akan kekuasaan Allah. Hal itu sesuai dengan Hadist Nabi. Dari
Abu Hurairah, sesugguhnya Rasullulah SAW mengutuk perempuan-perempuan yang
berziarah kekuburan. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizi).[16] Untuk zaman sekerang ini mungkin wanita boleh
berziarah ke makam leluhur, atau keluarga yang telah meninggal. Zaman sudah
mengalami perubahan tentu hukum akan menyesuaikan dengan zaman asalkan tidak
lepas dari esensi dari apa yang dilakukan.
Kesimpulan
Selametan, Nyadaran atau Sadran, dan Ziarah mempunyai esensi yang
sama yaitu mendo’akan orang yang telah tiada atau meinggal. Perbedaannya hanya
pada cara dan bentuknya. Walaupun Nyadaran dan Slametan itu erat kaitannya
dengan pengaruh Animisme atau Hindi-Budha namun itu tidaklahmenjadi persoalan,
karena ininti dari keduanya adalah sama yaitu berdo’a untuk keluarga atau
leluhur yang telah tiada. Dengan berziarah atau nyadran ke makam leluhurtentu
akan mengigatkan kita bahwa kita akan mengalami hal yang sama yaitu meninggal.
Tentu tidak ada salahnya itu dilakukan oleh orang-orang yang masih
mempercayai hal-hal tersebut. Bagi orang yang tidak suka atau tidak melakukan
itu juga tidak ada masalahnya. Kita dapat berdo’a atau mendo’akan leluhur kita
setiap saat kita melakukan sholat.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan,
Demi Da’wah. Bandung: Al-Ma’arif, 1976
Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi
Muhdlor, Kamus al-‘Asri. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, tt
Bilal, M. Wasim, Sinkreteisme dalam Kontak Agama dan Budaya
di Jawa, Al-Jami’ah No. 55. 1994 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
----------------------Penyebaran
Agama di Jawa dan problematika-problematika Sinkretisme, Jurnal Dakwah No 1
Edisi Juli-Desember 2000
Cock, Tim G Bab, Kampung Jawa Tondano Religion and Cultural
Identity, Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1989
Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Geertz, Clifford, Abangan, Santri
dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka
Jaya, 1981
Hendrosaputra, Waridi, dan Marsono, Ensiklopedi
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa, 1999
Ma’luf al-Yassu’I, Louis, dan Fr.
Bernard Tottel al-Yassu’I, Kamus al-Munjid. Beirut: Dar El-Machreq Sarl
Publisher, 1997
Murder P.J, Zoet, Old Javanese,
Enghlish Dictionary, 2 Vols S. Gravenhage: Martinus Nijhoff 1982
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam.
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011
Subagya, Rahmat, Agama Asli
Indonesia. Jakarta: Yayasan Harapan, 1981
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya
agung, 1990
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/06/19/monc2j-pentingkah-ziarah-kubur di akses 6 Desember 2013
http://kbbi.web.id/ziarah di akses 6 Desember 2013
[1] Clifford
Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj. Aswab
Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm.13.
[2] Rosihan Anwar,
Demi Da’wah (Bandung: Al-Ma’arif, 1976), hlm 5.
[3] Hildred
Geertz, Keluarga Jawa, terj.Grafiti Pers (Jakarta: Grafiti Pers, 1985),
hlm. 14.
[4] Zoet Murder
P.J Old Javanese, Enghlish Dictionary, 2 Vols S (Gravenhage: Martinus
Nijhoff 1982), hlm. 1811-1812.
[5] Rahmat
Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Yayasan Harapan, 1981), hlm.
121
[6] Waridi
Hendrosaputra, Marsono, Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Yayasan Studi Jawa, 1999), hlm. 271.
[7] Tim G Bab
Cock, Kampung Jawa Tondano Religion and Cultural Identity, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Perss, 1989), hlm. 63-64.
[8] Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), hlm. 231
[9] M. Wasim
Bilal, Sinkreteisme dalam Kontak Agama dan Budaya di Jawa, Al-Jami’ah
No. 55. 1994 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 110.
[10] M.Wasim Bilal,
Penyebaran Agama di Jawa dan problematika-problematika Sinkretisme, Jurnal
Dakwah No 1 Edisi Juli-Desember 2000, hlm. 18.
[11] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/06/19/monc2j-pentingkah-ziarah-kubur di akses 6
Desember 2013
[12] Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), hlm. 1. 081.
[13] Atabik Ali dan
Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus al-‘Asri, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,
tt) hlm. 1028.
[14] Louis Ma’luf
al-Yassu’I dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’I, Kamus al-Munjid, (Beirut:
Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1997), hlm. 310.
[16] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam,( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 190-191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar