"sesungguhnya, dalam (proses) penciptaan langit dan bumi dan (proses)
pergantian siang dan malam, adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
ulil albab (orang-orang yang berfikir)
(QS 3:190)
"Alam yang tidak bertubuh diketahuilah sudah,
dan mata pikiran
memandanglah kedalamnya.(Uber Sokrates)
- Pendahuluan
Berfikir,
yang adalah suatu proses olah nalar, yang secara essensi adalah agamawi,
merupakan suatu proses sunnatullah, yang sudah ada benihnya sejak awal,
ketika manusia dihadirkan di bumi. Akal yang merupakan anugerah termahal yang
diberikan khusus oleh Allah kepada
manusia yang tidak diberiakan pada makhluk lainnya, adalah agar manusia mampu
membaca dan memikirkan segala kejadian dan tanda-tanda kekuasaan Allah.[1]
Islam
sendiri memberikan kedudukan tinggi kepada akal, karena akal hanya dimiliki
oleh manusia, dan manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Allah memerintahkan
manusia untuk selalu menggunakan akalnya untuk menyikapi dan membaca
tanda-tanda kekuasaan-Nya.[2]
Dan banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang memberikan sugesti dan peringatan kearah
pemaksimalan penggunaan akal untuk kemudian sebagi alat handal yang mampu
membedakan mana yang baik dan yang buruk. Permasalahan ini sudah banyak
tanggapan dari para filosof Yunani tentang hakekat dan kegunaan akal itu
sendiri serta bagaimana seharusnya manusia menyikapi akal agar mendapatkan Ilmu
pengetahuan yang orisinal dan ilmiah dan tidak ketinggalan pula di dunia Timur,
masalah ini juga menjadi perdebatan sengit di kalangan filosof muslim. Dimana
diantaranya adalah filosof Andalusia yaitu Ibn Thufail, yang telah menjelaskan
– secara implisit – dalam karyanya yang terkenal yaitu hay ibn Yaqdzan,
yang kemudian akan dibahas secara rinci dan mendetel konsep dan pikirannya
tentang akal sebagai sebuah refleksi ontologis tanpa mengurangi keobjektipan
dan oresinalitas pemikirannya, dan dalam makalah ini penulis juga akan
memformulasikan pemikiran Ibn Thufail dengan pemikiran tokoh sebelumnya dan
tokoh yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Sehingga akan dapat mengambil
sebuah kesimpulan yang tepat dan ilmiah. Karena penulis yakin bahwa
bagaimanapun juga pemikiran seseorang tentang suatu konsep mesti ada pengaruh dari
pemikiran tokoh sebelumnya, maka dari itu sudah menjadi keharusan untuk
menyisipi pemikiran tokoh yang representative dan mendukung terhadap penulisan
konsep dan pemikiran Ibn Thufail tentang akal.
- Biografi Singkat Ibn Thufail
Nama
lengkap Ibn thufail adalah Abu Bakr Muhammad ibn 'Abdul Malik ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn Thufail al-Andalusi al-Qoisi.[3] Ia lahir
pada tahun 506 H/1110 M. [4] di wadi Asy.[5] Yaitu
sebuah kota kecil di Andalusia. Pada masa mudanya beliau tidak terlalu nampak
dan terpopuler seperti tokoh lainnya karena ia otodidak yang berbakat. Pada
awalnya beliau menekuni ilmu kedokteran dan memiliki banyak tulisan dibidang
ini, namun juga banyak yang hilang.[6] Selain
sebagai seorang dokter ia juga sebagai seorang filosof, ahli matematika dan
ahli penyair yang terkenal dari Muwahid Sapyol. Untuk mengembangkan karirnya di
bidang kedokteran Ibn Thufail menjalin hubungan baik dengan kholifah kerajaan Muwahhidin, dan diangkat menjadi
dokter probadinya sejak tahun 588-580 H. dan khalifah Ya'kub berhubungan erat
dengan para filosof – dan meminta ibn Thufail untuk menguraikan buku-buku
Aristoteles. Untuk memenuhi tugas tersebut ia merekomondasikan ibn Rusdy untuk pekerjaan ini – dan ia diterima dengan
baik. Ketiaka Ibn Thufail meninggalkan jabatannya sebagai dokter pribadi
Khalifah, maka jabatan itu digantikan oleh ibn Rusdy. Banyak sekali karya-karya ibn Thufail tentang
bidang keilmuan yang digelutinya, namun yang tertinggal dan sampai pada tangan
kita saat ini hanya karya roman fiktif yang berjudul hayy ibn Yaqdzan.
Di sinilah inb Thufail mencurahkan pikirannya tentang akal dengan mengampil
tokoh; hayy ibn Yaqdzan. Yang
kemudian nanti penulis bahas pikiran-pikirannya dalam karyanya ini.
Setelah
khalihaf Ya'kub meninggal dan di gantikan oleh putranya, yaitu Abu Yusuf,
namun hubungan kekeluargaan antara
mereka tetap terjaga, hal itu terbukti ketika abu Yusus menghadiri pemakaman
Ibn Thufail di Maroko.
- Konsep "Akal" menurut Ibn Thufail dalam karya "
hayy ibn Yaqdzan"
Ada keunikan tersendiri dalam diri ibn Thufail
dan meng-konsepsikan akal yaitu mengekplorasikan secara simbolik dalam roman
filosofis fiktif hayy ibn Yaqdzan dengan dibentuk sebuah cerita yang
mengandung pesan dan kisah tengatang hayy
ibn Yaqdzan sebagai seorang tokoh yang dilambangkan sebagai akal pikiran
sedangkan teman-temannya sebagai selera syahwat, perasaan marah dan
tabiat-tabiat lainnya yang lazim ada pada manusia.[7]
Dalam
bukunya itu ibn Thufail memposisikan Hayy ibn Yaqdzan sebagai akal faal atau jiwa suci yang
berfikir dan akal yang tetap hidup, dan tidak pernah cacat. Walaupun ibn
Thufail tidak menkonsepsikan secara gamlang
tentang akal, namun bisa dilihat dari kecenderungannya dalam mengagumi
tokoh seperti ibn Bajjah, aristoteles, dan lainnya hingga dapat ditarik
kesimoulan bahwa yang dimaksud akal menurut ibn Thufail adalah al-quwwat
an-nathiqoh, yaitu daya jiwa yang
berfikir, bersifat dinamis, mengandung unsure ketuhanan dan kekal, walaupun
jasad hancur. Jadi akal yang dimaksud ibn Thufail adalah gerak jiwa yang
dinamis, bukan statis, yang dapat dikomunikasikan dengan dunia materi.[8]
Dari
synopsis karya ibn Thufail itu dapat ditarik kesimpulan bahwa akal menepati
peranan penting dalam kehidupan kita dan menempati diposisi paling tinggi. Hal itu tercermin dari seorang sosok hayy
ibn Yaqdzan yang dengan keterasingannya dari masyarakat dan tanpa sentuhan
pengalama-pengalaman akademis dan ajaran-ajaran dari luar, ia mampu memahami
kebenaran, dan mampu memahami kematian rusa yang tanpa sebab serta mampu
mengetahui Realitas Yang Maha Tertinggi. Dengan demikian akal merupakan sumber
dari ilmu – ilmu pengetahuan yang
merupakan produk dari kegiatan berfikir dan obor yang menerangi
kehidupannya.
Bagi
ibn Thufail ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dengan indera, karena
pengetahuan bukan hanya proses pemahaman saja.[9] Dan pada sisi lain di sebutkan bahwa hayy
ibn Yaqdzan akhirnya mencapai pada
pengetahuan tentang wujud Mutlak yang sepenuhnya bersifat immaterial. Dengan
kejernihan, keluhuran dan ketidak fanaan jiwanya yang juga terkandung di dalamnya
essensi dirinya. Yang kemudian ditemukan
tiga akibat dari tiga karakter manusia. Pertama: akibat karakter
impulsive dan kebinatangannya, kedua: akibat dengan spritualnya, mampu
berhubungan dengan yang di langi, dan ketiga: akibat kekudusan jiwanya,
manusia berhubungan dengan Wujud Mutlak.[10]
Dalam
gerak yang lebih dalam lagi akal sanggup untuk mencapai sesuatu yang tak
berawal dan tak berakhir yang meliputi segalanya, yang dalam gerak hendak
memperlihatkan dirinya itu berbagai pengertian tentang kesudahan adalah momen
saja. Oleh karena itu watak daras akal itu tidak satatis, tetapi dinamis,
beragerak dan menampakkan inti tak berawal dan tak berakhirnya itu pada
waktunya.
- Konsep Keharmonisan Akal dan Wahyu
Masalah
akal sudah banyak mengundang perdebatan antar filosof muslim, dimana hal itu
juga banyak mengundang perbedaan pendapat. Begitu pula dengan konsep wahyu,
namun para filosof berkeyakinan bahwa antara akal-dan wahyu ada keserasian dan
keharmonisan. Begitu juga menurut ibn Thufail, adalah penulis roman hayy ibn
Yaqdzan yang terkandung di dalamnya tentang keharmonisan antara akal dan
wahyu.
Sebagaiman
yang telah di jelaskan di atas bahwa akal menurut ibn Thufail adalah daya
berfikir (al-Quwwah an-natiqah), yang dengan sendirinya mampu memahami
kebenaran, yang mana tokohnya adalah hayy ibn Yaqdzan sedangkan wahyu
adalah pengetahuan Tuhan yang di sampaikan kepada para nabi, kemudian
diteruskan kepada manusia sebagai pegangan hidup, dan tokohnya adalah Absal.
Permasalahan
pokok yang berkembang pada pembahasan ini yaitudaya jangkau akal dan fungsi wahyu
terhadap permasalahan pokok agama yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan
kejahatan. Dan dari dua masalah pokok
ini menjadi empat inti pokok yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui-Nya, serta mengetahu perbuatan baik dan jahat serta kewajiban mengetahuinya.
Permasalahan ini banyak mengundang pertentangan antara aliran teologi Islam.[11] Namun
sikap ibn Thufail dalam menanggapi masalah di atas sangat bijaksana, walaupun
ia menempatkan akal pada posisi paling atas namun ia juga hidup di budaya
wahyu, yang nantinya akan ditemukan
keharmonisan antara keduanya dalam karyanya, yang melambangkan akal dengan hayy
ibn Yaqdzan dan wahyu dengan Absal, yang kedua bertemu di titik yang sama
yaitu kebenaran.
Jadi
antara akal dan wahyu terdapat hubungan yang erat. Kehadiran wahyu merupakan
suatu pelengkap dan petunjuk bagi akal.
Adapun pengetahuan yang diperoleh akal dengan pengetahuan yang diperoleh
wahyu, menurutnya pengetahuan yang diperoleh akal di bawah pengetahuan
yang diperoleh wahyu, karena pada
dasarnya wahyu diturunkan sebagai petunjuk, dan kebenaran akal bersifat
relative sedangkan kebenaran wahyu bersifat mutlak.
- Kesimpulan
Dari pemaparan konsep akal dan relevansinya akal
dengan wahyu yang digambarkan oleh ibn Thufail dan karya Roman fiktifnya "
hayy ibn Yaqdzan" dapat ditarik kesimpulan sebagai beriku:
a.
Menurut
ibn Thufail akal adalah al-quwwah an-natiqoh, jiwa yang berfikir atau
daya insani yang brsifat dinamis dan selalu berfikir dan berdzikir untuk
memahami realitas alam dan dirinya sehingga mencapai pada tingkat yang lebih
tinggi yaitu mengetahui Yang Mutlak.
b.
ibn
thufail berpendapat bahwa Ada keharmonisan dan hubungan erta yang tidak dapat
dipisahkan antara akal dan wahyu, dimana antara satu dan lainnya saling
memenuhi, seperti kerelatifan akal dalam memperoleh pengetahuan membutuhkan
bimbingan wahyu untuk mengecek pada dataran kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Kant mengatkan yang dikutip
oleh C. A van Peurson, Orintasi di
AAlam Filsafat, Dick Handoko, pen, Jakarta: PT. Gramedia, 1988, hlm. 25.
Madjid Fakhry, Sejarah
Filsafat Islam: Sebuah Peta kronologis, Bandung:
Mizan, 2002,
Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam,
Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 86.
Ahmad Fuad al-Ahwani. Filsafat
Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 73. terj. Pustaka
Firdaus.
Bakhtiar Husain Siddiqy,
"Ibn Thufail" dalam M. M Syarif, ed., Para Filosof Muslim, Rahmani
Astuti, Bandung: Mizan, 1985, hlm 173.
Wadi
Asy Juga Disebut Oleh De Boer Sebagai Qadis Atau Guadix.
A M Syaifuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,
Bandung: Mizan, 1998. hlm. 32-33.
[1] A. M. Syaifuddin, Desekularisasi
Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1998. hlm. 32-33.
[2]
Untuk lebih jelasnya perintahtah Allah atas
penggunaan akal dan keharusan manusia sebagai makhluknya untuk memanfaatkannya
lihat terjemahan al-Qur'an (QS 16:11)
dan QS 16:12)
[3] Ahmad Fuad al-Ahwani. Filsafat Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 73. terj. Pustaka Firdaus.
[4] Bakhtiar Husain Siddiqy, "Ibn
Thufail" dalam M. M Syarif, ed., Para Filosof Muslim, Rahmani Astuti, Bandung:
Mizan, 1985, hlm 173.
[7]
dalam leteratur lain, dijelaskan bahwa hayy
ibn Yaqdzan dilambangkan sebagai anak manusia yang dengan akalnya dan
dibarengi dengan kesucian jiwanya, ia mampu membedakan yang baik dan yang
buruk, dan mampu memecahkan masalah dalam kehidupan, hingga pada puncaknya
mampu menemukan al-haqiqat al-'Ulya.
[9] Kant mengatkan yang dikutip oleh C. A van
Peurson, Orintasi di AAlam Filsafat,
Dick Handoko, pen, Jakarta: PT. Gramedia, 1988, hlm. 25. "Akal budi tak
dapat menyerap sesuatu dan panca indra tak dapat memikirkan sesuatu; hanya bila
kedua-duanya bergabung timbullah pengetahuan, mencerap sesuatu tanpa dibarengi
akal budi sama dengan kebetulan, dan pikiran tanpa isi sama dengan
kehampaan"
[10] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam: Sebuah Peta kronologis, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 105. terj.
Zaimul Am. Dan Dari ketiga akibat itu ada tiga tugas pula yang harus di
jalaninya: pertama: sebagai bagian dari binatang ia harus memenuhi
kebutuhan fisiknya agar bisa bertahan sehingga mampu mewujudkan tujuan
utamanya, yakni merenungi Tuhan, kedua: sebai makhluk spiritual dan
intektual ia harus merenungi keindahan dan keteraturan alam, dam ketiga:
sebagai makhluk yang dekat dengan Tuhan maka ia dalam berkontemplasi sadar akan
keterbatasannya, karena jiwa dalam hal itu takkan bisa menghilangkan
kesadarannya tentang identitas dirinya dan keakuannya.
[11]
Menurut Mu'tazilah keempat
permasalahan di atas dapat diketahui oleh akal, sedangkan As-Ariyah berpendapat
bahwa hanya satu diantara keempat permasalahan di atas yang dapat diketahu oleh
akal yaitu yaitu adanya Tuhan sedangkan ketiganya dapat diketahui melalui
wahyu. Dan sangat tanpak bahwa Mu'tazilah memberikan porsi teratas pada akal,
karena baginya bahwa akal mampu mengetahuinya walaupun tanpa bantuan wahyu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar