Kamis, 30 Oktober 2014

Siapakah Yang Menghukum Mati Syekh Siti Jenar Dan Al-Hallaj?

 Dalam perbincangan kami dengan seorang guru besar Sufi di salah satu wilayah Suamtera Utara, sempat bercerita tentang kehidupan para sufi terdahulu. Salah satunya mengenai Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, dikenal sebagai sosok sufi yang dihukum mati. Tapi, siapakah sebenarnya yang menghukum mati, jika benar,.. dimana makam Syekh Siti Jenar?

Menurut KH Muhammad Sholikhin, dalam bukunya 'Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo', setidaknya dia menyebutkan ada tujuh versi kematian Syekh Siti Jenar. Diantaranya dihukum mati oleh Sultan Demak, dihukum Sunan gunung Jati, dihukum Sunan Giri, dan versi cerita dihukum mati oleh Wali Songo. Tetapi pada kenyataannya, tidak ada kejelasan pasti yang dituliskan dalam berbagai buku yang pernah diterbitkan.

Mungkin, kisah kedua ulama Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar merupakan salah satu kontroversi tersendiri dikalangan umat muslim. Percakapan kami cukup panjang beberapa hari lalu dengan seorang guru sufisme PPDH yang tak ingin identitasnya disebutkan, dia menceritakan kisah sebenarnya tentang orang-orang yang membunuh utusan Allah, tepat seperti yang dikisahkan dalam Quran.

Misteri Hukum Mati Syekh Siti Jenar Dan Al-Hallaj

Sejak masuknya kolonisme ditanah air, para penjajah tidak hanya merampas kekayaan ibu pertiwi, tetapi juga telah merusak literatur dan sejarah bangsa. Diantaranya kisah para pahlawan yang menentang kolonial, sementara orang-orang yang dekat dengan pemerintahan penjajah kisahnya diubah sebaik mungkin. Banyak fakta yang ditemukan bahwa sejarah perjuangan di Indonesia di palsukan, salah satunya perjuangan Sisingamangaraja XII, dimana pengusutan silsilah menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang muslim.

Sulit dipercaya, agama yang dianut Sisingamangaraja XII awalnya adalah agama asli Batak. Tetapi sejak zaman Belanda terdengar isu Sisingamangaraja XII seorang muslim, yang pertama menyebarkan isu ini adalah Rheinische Missionsgesellschaft, missionaris Belanda. Pada waktu itu Singamangaraja XII mulai menyalin kerjasama dengan pihak Aceh yang menganut ajaran Islam (tasawuf) untuk memerangi kekuasaan kolonial Belanda diwilayah Sumatera. Tetapi setelah kematiannya, mengapa makam Sisingamangaraja XII diberi nisan salib? Padahal pada saat dia menjalani hidup sebagai muslim tidak ada masalah sama sekali dengan rakyatnya yang berbeda agama, mereka rukun sebelum masuknya kolonilisme Belanda.

Pemerintahan kolonial Belanda menyadari kekuatan besar ditanah air, mereka tidak hanya mencuri kekayaan alam, bahkan tradisi dan legenda orang-orang terkenal diubah kisahnya. Mereka menerapkan divide et impera, sebuah cara yang lebih halus dengan menggunakan makam Sisingamangaraja XII untuk memecah belah wilayah Batak. Tentunya masyarakat beragama saling terpecah menjadi beberapa kelompok yang akan mempermudah penjajahan kolonialisme.
Jadi, sebenarnya kisah pemalsuan religi ditanah Batak tidak ada kaitannya dengan Islam, dimana mereka sebelumnya tidak mempermasalahkan dan hidup rukun, semua ini tak lain hanya taktik penjajah untuk menguasai tanah Batak.


Bagaimana kisah Syekh Siti Jenar? Adakah keterlibatan kolonilisme dalam mengubah kisah sembilan wali? Kolonialisme tetap berusaha mengubah kisah walaupun pada waktu itu penjajah belum sepenuhnya memasuki wilayah Indonesia. Mereka menyadari, kekuatan besar dibalik penyebaran agama Islam, suatu saat akan mempersulit pemerintahan kolonial dalam menguasai kekayaan tanah air.

 Adalah fitnah besar menuduh para ulama sekaligus wali yang menghukum mati Syekh Siti Jenar. Sebuah taktik yang dilancarkan penjajah yang berusaha untuk memecah bangsa termasuk dari sudut religi yang memaksa umat pengikutnya saling terpecah, pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, pengikut ajaran sunan, terus berkembang menjadi berbagai kelompok dan berlanjut sampai saat ini dimana tubuh Islam terbagi-bagi.

Ketika kolonilisme memasuki tanah air, mulai terbentuk opini-opini baru sebagai suatu siasat, kemudiaan mereka mulai mencetak buku yang kemudian disebar dan diajarkan dalam pendidikan umum. Tidak heran, fakta sejarah perjuangan bangsa banyak yang tidak sesuai dengan kisah para tetua ataupun guru yang diceritakan secara turun menurun kepada mereka. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan Syekh Siti Jenar? Pembicaraan kami berlanjut dan Kyai menegaskan bahwa sistem yang mereka (kolonial) ciptakan telah berhasil merasuki bangsa.

Ketika Musa tak sadarkan diri selama 40 hari, bukan dalam arti kata pingsan, mengigau, ataupun sejenisnya. Segala perbuatan dan ucapannya bukan berasal dari dirinya, melainkan Kalam Allah yang tidak bisa dibantah dan harus terlaksana ataupun terucap, maka tertulislah ayat-ayat dari-Nya. Musa sadar, dia tahu apa yang dilakukannya tapi tidak bisa dihentikan, sebagaimana disebutkan dalam Quran:

 (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya (Saad, 38:71-73)

Tidak hanya Musa, semua nabi menerima persitiwa yang sama akan berlangsung selama 40 hari, setiap perkataannya adalah Kalam, dimana Allah telah menjadikan manusia sebagai Wahdaniyah pada dirinya. Inilah yang diyakini kaum sufisme, "Aku lebih dekat dari urat nadimu", bahwa di dalam diri manusia terdapat Jiwa Yang Suci.

Tetapi, pada waktu masa Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, masih banyak orang yang belum memahami konsep sufi dan para wali utusan Allah. Mereka mengira bahwa ajaran yang diturunkan tidak sesuai dengan syariat, sehingga menimbulkan kontra dan keputusan sesat untuk menghakimi wali.

    Fitnah besar telah dituduhkan kepada sembilan wali menghukum mati Syah Siti Jenar, berlangsung selama masa penjajahan hingga saat ini. Tidak mungkin para wali berani menghukum mati Syekh Siti Jenar dimana dirinya sedang menerima Kalam Allah, dan mereka (para wali) sangat mengerti apa yang dirasakan sama seperti Musa.


Mereka yang tidak mengerti tentang hakikat dan makrifat tidak akan memahami fenomena yang terjadi, sehingga orang-orang (umat) yang menguasai hukum-hukum syariat menghukum mati Syekh Siti Jenar dan Al-Hallaj. Ketika Syekh Siti Jenar dihukum dan darah keluar dari tubuhnya, jasadnya raib, dari dzat kembali ke dzat. Dan itu terbukti sampai sekarang, tidak pernah ada makam Syekh Siti Jenar.

Dalam pembicaraan kami dengan sang guru sufisme, kisah ini sudah diturunkan sejak para guru terdahulu, dimana pada waktu itu banyak kalangan tasawuf ikut membela tanah air dan menyadari politik adu domba yang lancarkan penjajah, bahkan masih melekat sampai sekarang. Tidak hanya kisah Syekh Siti Jenar, tetapi hampir semua pejuang bangsa pada waktu itu telah diubah ceritanya. Setelah kemerdekaan, perpustakaan didirikan dan diisi dengan buku dan catatan yang diambil dari cetakan penjajah, terus berlanjut sampai sekarang.

Sumber
  •  Dari percakapan kami dengan seorang guru besar penganut tarekat dan tasawuf yang tidak ingin disebutkan namanya. Silsilah guru dan wali terdahulu dari Aceh sebelum masa penjajahan memasuki tanah air, Sumatera Barat, hingga berakhir di Sumatera Utara.
  • The Beheading, painting by Enrique Simonet in 1887, image courtesy of Wikimedia Commons - Public Domain. 


Tak Perlu Diperbesar, Ini Cara Alami untuk Tingkatkan Kemampuan Ereksi Mr P


Kemampuan ereksi penis memegang peranan penting terkait performa pria ketika di ranjang. Ketika kemampuan ereksi dianggap menurun, tak sedikit pria yang kelabakan untuk mencari bantuan medis.

Memang, seperti diutarakan Thomas J. Walsh, MD, profesor urologi sekaligus direktur University of Washington Men’s Health Center, kemampuan ereksi penis bisa dipengaruhi karena penyakit yang dialami pria, misalnya saja penyakit kronis seperti diabetes.

"Kemampuan ereksi bisa diperbaiki dengan mengatasi penyakit itu, Pada prinsipnya, meningkatkan kemampuan fisik secara keseluruhan, mengurangi lemak di tubuh, meningkatkan massa otot dan kesehatan kardiovaskular juga menambah kinerja seksual pria," papar Walsh.

Ia menambahkan, tinjauan penelitian yang dipublikasikan dalam Asian Journal of Andrology memberikan beberapa rekomendasi untuk para kaum adam guna meningkatkan kemampuan ereksinya. Hal yang utama adalah pria dianjurkan rutin melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari atau 150 menit per minggu dengan intensitas latihan sedang.

"Sangat dianjurkan pula untuk mengelola berat badan. Usahakan bisa menurunkan 5-10% berat badan jika Anda termasuk dalam kategori obesitas," imbuh Walsh, dikutip dari Men's Health, Selasa (28/10/2014).

Kemudian, konsumsilah lebih banyak buah, sayur, dan biji-bijian. Ada baiknya batasi konsumsi daging merah dan makanan olahan serta makanan yang mengandung lemak jenuh tinggi. Tak lupa, minimalisir konsumsi gula dan minuman manis. Juga sebaiknya hindari merokok dan alkohol.

"Maka dari itu jangan coba-coba mencari prosedur pembesaran atau bahkan pemanjangan penis karena sebenarnya prosedur itu tidak efektif. Beberapa dokter mungkin saja bisa memberi implan pada penis tetapi efek samping yang ditimbulkan sangatlah berbahaya," jelas Walsh.

Menurutnya, materi implan yang dipasang pada penis justru bisa bermigrasi dan menghancurkan jaringan di sekitar penis. Akibatnya, sensasi atau kepekaan penis ketike menerima rangsangan seksual pun menurun.

"Yang terjadi justru prosedur bedah yang dianggap bisa meningkatkan performa pria di ranjang malah memberi dampak negatif terhadap fungsi seksual mereka secara keseluruhan. Maka dari itu janganlah bermain-main dengan prosedur pembesaran atau pemanjangan penis," tegas Walsh.

sumber: http://health.detik.com/read/2014/10/28/185701/2732385/1390/tak-perlu-diperbesar-ini-cara-alami-untuk-tingkatkan-kemampuan-ereksi-mr-p

Rabu, 29 Oktober 2014

Sejarah Indonesia: Desa Pandai Besi yang Hilang

MATANO seperti terpencil dan sendiri. Jalanannya tak beraspal dan dipenuhi debu bila musim kemarau. Penduduknya berladang, menanam sayur dan kakao, serta bekerja sebagai nelayan. Desa ini jauh tertinggal dibandingkan Sorowako, kota yang tumbuh dengan pesat karena perekonomiannya ditopang oleh keberadaan perusahaan tambang PT Inco.

Pada abad ke-14 desa ini dikenal sebagai Rahampu’u –tanah untuk orang pertama yang mendiami negeri. Tanahnya merah dengan gunung dan bukit mengelilinginya –tanah merah secara geologi mengandung besi. Desa ini pula yang diperkirakan menjadi cikal-bakal kerajaan Luwu, yang dulu dikenal sebagai penghasil besi terbaik di Nusantara.


Saya mengunjungi desa Matano, yang berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Oktober silam. Letaknya berada di pesisir danau. Udaranya sejuk tapi mataharinya menyengat. Saya heran melihat tanah yang hitam di sepanjang jalan utama yang bersisian dengan garis pantai Danau Matano.  



“Itu sisa pembakaran dan peleburan besi,” kata Mahding.

Mahding, berusia 72 tahun, penduduk asli Matano. Tak jauh dari rumahnya, terdapat benteng yang membentang sepanjang 300 meter. Benteng itu terlihat kokoh meski sudah dipenuhi tumbuhan liar. Menurut cerita masyarakat setempat, panjang benteng itu mencapai 500 meter, dibangun dari tumpukan tanah dengan bagian dalamnya diisi batu kapur. Tujuannya untuk menghalau suku-suku yang hendak menyerang Matano.

Menurut Mahding, benteng itu seharusnya mengelilingi kampung yang didiami para pandai besi. “Saya dengar cerita orangtua, ada 99 tempat pandai besi masa itu (di kampung ini). Jadi ramai sekali,” katanya.

Mahding memperlihatkan peninggalan para pandai pandai besi Matano. Ada palu, landasan pukul, tombak, parang, topi perang, piring, dan ceret. Sekarang tak satu pun generasi mereka melanjutkan keahlian mengolah besi. “Ini peninggalan yang lebih muda. Mungkin sebelum ada gerombolan (DI/TII tahun 1950),” katanya.

Pada masa awal, Matano diperintah oleh seseorang yang bergelar Mokole. Mokole Matano memerintah beberapa anak suku dan mendirikan kerajaan kecil. Tapi ketika kerajaan Luwu berkembang pesat pada abad ke-14, Matano menjadi bagian dari federasi. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam wilayah Luwu dinamakan palili –tugasnya membantu, menaati, dan mendukung penuh aturan dan keputusan-keputusan Luwu.

Matano memiliki sumber daya alamnya yang kaya besi dan nikel dan membuatnya menjadi rebutan. Adalah tetangganya sendiri di bagian timur, To Bungku atau orang Bungku, yang juga dikenal sebagai penambang dan pelebur biji besi kendati tak sebaik orang Matano. Mereka selalu terlibat perang dan keberadaan benteng itulah yang jadi penandanya.

Orang Matano mengolah besi dengan sederhana. Mereka memilah batu yang dianggap punya kandungan nikel yang baik, biasanya berwarna hitam pekat. Lalu diangkut ke tempat peleburan dan dibakar. Untuk meleburnya, mereka menggunakan tungku tanah dan bambu sebagai pengganti pipa. Mereka juga memakai bambu yang berfungsi sebagai tabung pompa untuk menghidupkan dan menjaga api tetap menyala dalam tungku. Bagian dalam bambu dihaluskan dengan cermat lalu dimasuki kayu sebagai tuas (mirip pompa zaman sekarang). Pada ujung kayu itu dibuat bulatan dan melapisinya dengan bulu ayam, agar dinding bambu bagian dalam rapat dan menghasilkan dorongan angin yang berhembus cepat.

Dari produksi itu, kerajaan Luwu menjadi penghasil besi dengan kualitas terbaik. Di Nusantara besi itu disebut Pamoro Luwu. Namun karena Matano tak memiliki teknologi, mereka hanya menyediakan bahan baku. Bahan-bahan itu dibawa ke Ussu, ibukota kerajaan Luwu, dan ditukarkan dengan kain dan barang kebutuhan lainnya. Orang-orang Ussu-lah yang menempa ulang besi itu menjadi parang, pedang, hingga badik dan keris. Kelak dalam sejarah panjang kerajaan Luwu hingga dalam teks I La Galigo, dikenallah istilah Bessi to Ussu –besi orang Ussu atau juga bessi Luwu.


Laporan arkeologis dari proyek OXIS yang dilakukan Iwan Sumantri (arkeolog Universitas Hasanuddin), David F Bullbeck (dari Australian National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional) tahun 1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu, menjelaskan bahwa Luwu menjadi populer karena memiliki akses besi yang mengandung nikel di Matano, biji besi di Bungku, dan emas di Sulawesi Tengah. Proyek OXIS, akronim dari Origin of Complex Society in South Sulawesi, menggabungkan metodologi dari bidang penelitian sejarah dan arkeologi (dan kemudian antropologi sosial) untuk mempelajari munculnya kerajaan agraris di semenanjung barat daya pulau Sulawesi.

Ussu, pada abad ke-14, merupakan pusat pemerintahan kerajaan Luwu. Dalam teks I La Galigo, Ussu menempati posisi istimewa karena magisnya dan merupakan “pusat nyata” Luwu. Ussu berada di kaki bukit, tempat Sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi Sungai Malili. Menelusuri Sungai Ussu di pesisir timurnya, Anda akan menemukan wilayah pandai besi Matano. Pada masa itu, jarak tempuh melalui darat dengan berjalan kaki hanya tiga hari. Penduduk Matano, selain menghasilkan besi dengan kandungan nikel terbaik, juga mengekspor tembaga dalam skala lebih kecil.

Menurut Iwan Sumantri, besi Luwu populer karena adanya kandungan nikel yang membuat kualitas besi lebih ringan dengan titik didih yang rendah. Pada abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-15, Luwu mengekspor besi itu ke Majapahit. Dalam teks Negarakertagama juga disebutkan demikian. Majapahit sedang gencar memperluas daerah kekuasannya, “Dan tentu di saat yang sama mereka membutuhkan besi secara besar-besaran untuk membuat peralatan senjata,” kata Iwan.

Ketika volume perdagangan semakin tinggi, Luwu memindahkan pusat kerajaan ke wilayah Malangke. Di sini perdagangan berkembang bukan hanya sebatas ekspor besi tapi merambah rotan, damar, dan hasil hutan lainnya. Namun, pada abad ke-16, perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur membuat pamor Luwu mulai menurun. Majapahit sebagai sekutu terbaik juga mulai redup.

“Rempah-rempah menjadi primadona. Tak ada lagi permintaan besi,” kata Edwar Poelinggomang, sejarawan Universitas Hasanudin.

Menurut Edwar, menghilangnya Luwu dalam percaturan perdagangan Nusantara dimulai pada 1559 saat VOC memusatkan perdagangan ke Indonesia Timur dan memilih Makassar sebagai pelabuhan utama. Luwu yang berlokasi di perairan Teluk Bone menjadi kesepian. Tak ada aktivitas. Warga pendatang seperti Bugis pun hengkang. Abad ke-16 pusat kerajaan Luwu pindah ke Palopo (sekarang Kotamadya Palopo) hingga akhirnya Luwu menghilang dan tak terdengar lagi.

Kini Luwu menjadi kerajaan paling misterius di Sulawesi Selatan. Tak ada peninggalan kerajaannya. Kebesarannya hanya bisa diraba-raba. Sementara Matano bahkan tak tercatat sebagai situs sejarah yang harus dilindungi pemerintah daerah. “Matano akan hilang seperti pandai besinya,” kata Iwan Sumantri. “Dan ini adalah kecelakaan besar bagi generasi kita.”





SEJARAH Nasionalisme Peci Untuk Bangsa Indonesia



Peci bukan hanya identitas agama tapi simbol nasionalisme. Ia juga bukan milik Indonesia semata.

PEMUDA itu masih berusia 20 tahun. Dia tegang. Perutnya mulas. Di belakang tukang sate, dia mengamati kawan-kawannya, yang menurutnya banyak lagak, tak mau pakai tutup kepala karena ingin seperti orang Barat. Dia harus menampakkan diri dalam rapat Jong Java itu, di Surabaya, Juni 1921. Tapi dia masih ragu. Dia berdebat dengan dirinya sendiri.

“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”

“Aku seorang pemimpin.”

“Kalau begitu, buktikanlah,” batinnya lagi. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat... Sekarang!”

Setiap orang ternganga melihatnya tanpa bicara. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah. Dia pun memecah kesunyian dengan berbicara: ”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Itulah awal mula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti dituturkannya dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya... simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jas dan dasi. Ini, menurut Sukarno, untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah). 

Sejak itu, Sukarno hampir selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Seperti yang dia lakukan saat membacakan pledoinya “Indonesia Menggugat” di Pengadilan Landraad Bandung, 18 Agustus 1930. Dan peci kemudian menjadi simbol nasionalisme, yang mempengaruhi cara berpakaian kalangan intelektual, termasuk pemuda Kristen.

Karena itulah, George Quinn dalam The Learner’s Dictionary of Today’s Indonesia, mendefinisikan cap (peci) dengan mengambil contoh Sukarno: Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Sukarno duduk di pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam). 

Sebenarnya Sukarno bukanlah intelektual yang kali pertama menggunakan peci. Pada 1913, rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag mengundang tiga politisi, yang kebetulan lagi menjalani pengasingan di Negeri Belanda: Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Ketiganya menunjukkan identitas masing-masing. Ki Hajar menggunakan topi fez Turki berwarna merah yang kala itu populer di kalangan nasionalis setelah kemunculan gerakan Turki Muda tahun 1908 yang menuntut reformasi kepada Sultan Turki. Tjipto mengenakan kopiah dari beludru hitam. Sedangkan Douwes Dekker tak memakai penutup kepala. Tampaknya Sukarno mengikuti jejak gurunya, lebih memilih peci beludru hitam.

Pengaruh Sukarno begitu luas. Pada pertengahan 1932, Partindo melancarkan kampanye yang diilhami gerakan swadesi di India, dengan menyerukan agar rakyat hanya memakai barang-barang bikinan Indonesia. Orang-orang mengenakan pakaian dari bahan hasil tenunan tangan sendiri yang disebut lurik, terutama untuk peci –sebagai pengganti fez– yang dikenakan umat Muslim di Indonesia. Peci lurik ini mulai terlihat dipakai terutama dalam rapat-rapat Partindo. “Tapi Bung Karno tak pernah memakainya. Dia tetap memakai peci beludru hitam, yang bahannya berasal dari pabrik di Italia,” tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution.

Sebenarnya, dari mana asal peci? Sukarno menyebut peci asli milik rakyat kita mirip dengan yang dipakai para buruh bangsa Melayu. Belum ada data penggunaan peci di kalangan buruh. Di Indonesia orang menyebutnya peci. Orang Melayu di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan selatan Thailand, dan sebagian Indonesia menyebutnya songkok.

Menurut Rozan Yunos dalam “The Origin of the Songkok or Kopiah” dalam The Brunei Times, 23 September 2007, songkok diperkenalkan para pedagang Arab, yang juga menyebarkan agama Islam. Pada saat yang sama, dikenal pula serban atau turban. Namun, serban dipakai oleh para cendekiawan Islam atau ulama, bukan orang biasa. “Menurut para ahli, songkok menjadi pemandangan umum di Kepulauan Malaya sekitar abad ke-13, saat Islam mulai mengakar,” tulis Rozan.

Asal songkok menimbulkan spekulasi karena tak lagi terlihat di antara orang-orang Arab. Di beberapa negara Islam, sesuatu yang mirip songkok tetap populer. Di Turki, ada fez dan di Mesir disebut tarboosh. Fez berasal dari Yunani Kuno dan diadopsi oleh Turki Ottoman. Di Istanbul sendiri, topi fez ini juga dikenal dengan nama fezzi atau phecy. Di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) fez dikenal sebagai Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Ini menjadi simbol identitas Islam dan menunjukkan dukungan Muslim India atas kekhalifahan yang dipimpin Kekaisaran Ottoman.

“Menurut beberapa ahli, ini adalah tutup kepala yang merupakan pendahulu songkok di Asia Tenggara,” tulis Rozan.

Peci tampaknya sudah dikenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Ketika Raja Ternate Zainal Abidin (1486-1500) belajar agama Islam di madrasah Giri, dia kembali ke Ternate dengan membawa kopiah atau peci sebagai buah tangan. “Peci dari Giri dianggap magis dan sangat dihormati serta ditukar dengan rempah-rempah, terutama cengkeh,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III.

Peci kemudian menjadi penanda sosial seperti penutup kepala lainnya yang saat itu sudah dikenal seperti kain, turban, topi-topi Barat biasa, dan topi-topi resmi dengan bentuk khusus. Pemerintah kolonial kemudian berusaha mempengaruhi kostum lelaki di Jawa. Jean Gelman Taylor, yang meneliti interaksi antara kostum Jawa dan kostum Belanda periode 1800-1940, menemukan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, pengaruh itu tercermin dalam pengadopsian bagian-bagian tertentu pakaian Barat. Pria-pria Jawa yang dekat dengan orang Belanda mulai memakai pakaian gaya Barat. Menariknya, blangkon atau peci tak pernah lepas dari kepala mereka.

“Kostum tersebut berupa setelan ditambah dengan penutup kepala batik atau peci saat wisuda dari sekolah-sekolah Belanda...,” tulis Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940” yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan.

Menurut Denys Lombard, Barat sangat sedikit mempengaruhi tutup kepala orang Jawa. Topi Eropa sama sekali tak populer. Demikian pula topi gaya kolonial (yang populer di Vietnam). Kuluk atau tutup kepala berbentuk kerucut terpotong tanpa pinggiran, yang dikenakan para priayi, dapat dikatakan hilang dari kebiasaan, dan kain tutup kepala yang dililitkan dengan berbagai cara (ikat kepala, blangkon, destar, serban) makin lama main jarang.

“Tutup kepala yang paling lazim digunakan adalah peci atau kopiah yang terbuat dari beludru hitam, yang semula merupakan salah satu bentuk kerpus Muslim. Setelah diterima oleh Sukarno dan PNI sebagai lambang nasionalisme, peci mempunyai makna lebih umum,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Kini, peci dipakai dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun keseharian umat Muslim di Indonesia seperti upacara perkawinan, lebaran, atau ibadah salat. Di Malaysia dan Brunei, songkok dipakai tentara dan polisi pada upacara-upacara tertentu. Pada 19 Juni 2008, anggota dewan DAP Gwee Tong Hiang disingkirkan dari Dewan Majlis Johor karena tak mematuhi aturan pakaian resmi dan songkok.


Selasa, 28 Oktober 2014

Malahayati, panglima muslimah yang bikin kecut Ratu Elizabeth


Perempuan itu berteriak lantang dari atas kapal. Suaranya beradu nyaring dengan gelegar meriam. Tegas. Memberi komando kepada pasukan perempuan di palagan perang.

Itulah secuplik kisah tentang Keumala Hayati. Panglima perang Kerajaan Aceh. Dia adalah muslimah pertama di nusantara dan bahkan dunia yang menjadi laksamana di zaman pelayaran modern. Saat sebagian besar rakyat negeri ini belum memikirkan emansipasi, dia sudah mendobrak batas-batas gender yang baru dibincangkan kemudian.

Enam abad silam, perempuan yang juga disebut dengan nama Malahayati ini memimpin seribu lebih perempuan. Mereka para janda prajurit Kerajaan Aceh yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru alias Selat Malaka.

Di dalam tubuh Malahayati memang mengalir darah kesatria. Bapaknya adalah Laksamana Mahmud Syah, panglima Kerajaan Aceh. Kakeknya, Muhammad Said Syah, juga seorang laksamana terkemuka.

Kakek buyutnya, Sultan Salahuddin Syah, memimpin Aceh pada tahun 1530-1539. Sultan Salahuddin merupakan putra Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri kerajaan Aceh Darussalam.

Malahayati mengenyam pendidikan militer selepas dari pesantren. Dia masuk jurusan angkatan laut akademi militer Kerajaan Aceh, Ma'had Baitul Makdis. Akademi militer kenamaan Kerajaan Aceh yang dibangun atas dukungan Sultan Selim II, penguasa Turki Utsmaniyah.

Di akademi militer itu, Malahayati tumbuh sebagai sosok brilian. Di situ puladia bertemu dengan kakak angkatan yang kemudian menjadi suaminya. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam. Sang suami menjadi laksamana.

Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis. Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.

Gayung bersambut. Saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.

Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh.

Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.

Pada 21 Juni 1599, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin Cornelis dan Frederick de Houtman itu disambut baik. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan Aceh.

Kerajaan Aceh melawan. Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan. Pasukan janda itu sangatlah tangguh. Armada Belanda dilibas. Bahkan pada 11 September, de Houtman tewas di tangan Malahayati. Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun.

Tak kapok, Belanda mengirim pasukan pada 21 November 1600. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh.

Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.

Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.

Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa.

Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumloah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.

Malahayati sungguh melegenda. Namanya saat ini dipakai untuk jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angakatan Laut. Namun sayang, sangat sedikit literatur tentang tokoh sebesar Malahayati ini. Sehingga tidak diketahui pasti kapan tahun lahir dan meninggalnya.

Sempurnanya Negeri Kita "Dulu"

Indonesia Adalah Negara Paling Kaya Di Jaman Kuno

Masa lampau Indonesia sangat kaya raya. Ini dibuktikan oleh informasi dari berbagai sumber kuno. Kali ini kami akan membahas kekayaan tiap pulau yang ada di Indonesia. Pulau-pulau itu akan kami sebutkan menjadi tujuh bagian besar yaitu Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda kecil, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua.


Sumatera - Pulau Emas

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas.

Pada masa Dinasti ke-18 Fir'aun di Mesir (sekitar 1.567SM-1.339SM), di pesisir barat pulau sumatera telah ada pelabuhan yang ramai, dengan nama Barus. Barus (Lobu Tua - daerah Tapanuli) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Barus dikenal karena merupakan tempat asal kapur barus. Ternyata kamper atau kapur barus digunakan sebagai salah satu bahan pengawet mummy Fir'aun Mesir kuno.

Di samping Barus, di Sumatera terdapat juga kerajaan kuno lainnya. Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan sumber bekalan emas untuk membina negara kota Kerajaan Nabi Sulaiman diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh yang dinamakan Ophir. Kemungkinan Ophir berada di Sumatera Barat. Di Sumatera Barat terdapat gunung Ophir. Sahabat anehdidunia.com Gunung Ophir (dikenal juga dengan nama G. Talamau) merupakan salah satu gunung tertinggi di Sumatera Barat, yang terdapat di daerah Pasaman. Kabarnya kawasan emas di Sumatera yang terbesar terdapat di Kerajaan Minangkabau. Menurut sumber kuno, dalam kerajaan itu terdapat pegunungan yang tinggi dan mengandung emas. Konon pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir. Di Pulau Sumatera juga berdiri Kerajaan Srivijaya yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan besar pertama di Nusantara yang memiliki pengaruh hingga ke Thailand dan Kamboja di utara, hingga Maluku di timur.

Kini kekayaan mineral yang dikandung pulau Sumatera banyak ditambang. Banyak jenis mineral yang terdapat di Pulau Sumatera selain emas. Sumatera memiliki berbagai bahan tambang, seperti batu bara, emas, dan timah hitam. Bukan tidak mungkin sebenarnya bahan tambang seperti emas dan lain-lain banyak yang belum ditemukan di Pulau Sumatera. Beberapa orang yakin sebenarnya Pulau Sumatera banyak mengandung emas selain dari apa yang ditemukan sekarang. Jika itu benar maka Pulau Sumatera akan dikenal sebagai pulau emas kembali.

Jawa - Pulau Padi 

Dahulu Pulau Jawa dikenal dengan nama JawaDwipa. Jawa Dwipa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "Pulau Padi" dan disebut dalam epik Hindu Ramayana. Epik itu mengatakan "Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, Pulau Emas dan perak, kaya dengan tambang emas", sebagai salah satu bagian paling jauh di bumi. Ahli geografi Yunani, Ptolomeus juga menulis tentang adanya “negeri Emas” dan “negeri Perak” dan pulau-pulau, antara lain pulau “”Iabadiu” yang berarti “Pulau Padi”.

Ptolomeus menyebutkan di ujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Kota Perak itu kemungkinan besar adalah kerajaan Sunda kuno, Salakanagara yang terletak di barat Pulau Jawa. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kota perak.

Di Pulau Jawa ini juga berdiri kerajaan besar Majapahit. Majapahit tercatat sebagai kerajaan terbesar di Nusantara yang berhasil menyatukan kepulauan Nusantara meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Dalam catatan Wang Ta-yuan, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan kunjungan biarawan Roma tahun 1321, Odorico da Pordenone, menyebutkan bahwa istana Raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

Menurut banyak pakar, pulau tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman.

Raffles pengarang buku The History of Java merasa takjub pada kesuburan alam Jawa yang tiada tandingnya di belahan bumi mana pun. “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan,” demikian tulisnya, “bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.”

Kini pulau Jawa memasok 53 persen dari kebutuhan pangan Indonesia. Pertanian padi banyak terdapat di Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan sebagai lumbung beras Indonesia. Jawa juga terkenal dengan kopinya yang disebut kopi Jawa. Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik dari kopi Amerika Latin ataupun Afrika.

Hasil pertanian pangan lainnya berupa sayur-sayuran dan buah-buahan juga benyak terdapat di Jawa, misalnya kacang tanah, kacang hijau, daun bawang, bawang merah, kentang, kubis, lobak, petsai, kacang panjang, wortel, buncis, bayam, ketimun, cabe, terong, labu siam, kacang merah, tomat, alpokat, jeruk, durian, duku, jambu biji, jambu air, jambu bol, nenas, mangga, pepaya, pisang, sawo, salak,apel, anggur serta rambutan. Bahkan di Jawa kini dicoba untuk ditanam gandum dan pohon kurma. Bukan tidak mungkin jika lahan di Pulau Jawa dipakai dan diolah secara maksimal untuk pertanian maka Pulau Jawa bisa sangat kaya hanya dari hasil pertanian.

Kepulauan Sunda kecil (Bali, NTB dan NTT) - Kepulauan Wisata

Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India. Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India. Sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.

Daerah Kepulauan Sunda kecil ini dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Sejak dulu telah ada yang berwisata ke daerah ini. Perjalanan Rsi Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11. Pada tahun 1920 wisatawan dari Eropa mulai datang ke Bali. Bali di Eropa dikenal juga sebagai the Island of God.

Di Tempat lain di Kepulauan Sunda Kecil tepatnya di daerah Nusa Tenggara Barat dikenal dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau. Kuda Nusa tenggara sudah dikenal dunia sejak ratusan tahun silam. Abad 13 M Nusa Tenggara Barat telah mengirim kuda-kuda ke Pulau Jawa. Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai tempat pariwisata raja-raja. Raja-raja dari kerajaan Bali membangun Taman Narmada pada tahun 1727 M di daerah Pulau Lombok untuk melepas kepenatan sesaat dari rutinitas di kerajaan.

Daerah Sunda Kecil yang tidak kalah kayanya adalah Nusa Tenggara Timur, karena di daerah ini terdapat kayu cendana yang sangat berharga. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sahabat anehdidunia.com cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang jauh yang kemungkinan cendana tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Kini Kepulauan Sunda kecil ini merupakan tempat pariwisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan pulau terindah di dunia. Lombok juga merupakan salah satu tempat terindah di dunia. Sementara itu di Nusa tenggara Timur terdapat Pulau yang dihuni binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup yaitu komodo. Kepulauan Sunda kecil merupakan tempat yang misterius dan sangat menawan. Kepulauan ini bisa mendapat banyak kekayaan para pelancong dari seluruh dunia jika dikelola secara maksimal.

Kalimantan - Pulau Lumbung energi 

Dahulu nama pulau terbesar ketiga di dunia ini adalah Warunadwipa yang artinya Pulau Dewa Laut. Kalimantan dalam berita-berita China (T’ai p’ing huan yu chi) disebut dengan istilah Chin li p’i shih. Nusa Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam naskah-naskah Jawa Kuno. Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P'ulo Chung). Borneo adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda.

Pada zaman dulu pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan di Pulau ini.

Di Kalimantan berdiri kerajaan Kutai. Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara. Nama Kutai sudah disebut-sebut sejak abad ke 4 (empat) pada berita-berita India secara tegas menyebutkan Kutai dengan nama “Quetaire” begitu pula dengan berita Cina pada abat ke 9 (sembilan) menyebut Kutai dengan sebutan “Kho They” yang berarti kerajaan besar. Dan pada abad 13 (tiga belas) dalam kesusastraan kuno Kitab Negara Kertagama yang disusun oleh Empu Prapanca ditulis dengan istilah “Tunjung Kute”. Peradaban Kutai masa lalu inilah yang menjadi tonggak awal zaman sejarah di Indonesia.

Kini Pulau Kalimantan merupakan salah satu lumbung sumberdaya alam di Indonesia memiliki beberapa sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai sumber energi, diantaranya adalah batubara, minyak, gas dan geothermal. Hutan Kalimantan mengandung gambut yang dapat digunakan sebagai sumber energi baik untuk pembangkit listrik maupun pemanas sebagai pengganti batu bara. Yang luar biasa ternyata Kalimantan memiliki banyak cadangan uranium yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Disamping itu Kalimantan juga memiliki potensi lain yakni sebagai penyedia sumber energi botani atau terbaharui. Sumber energi botani atau bioenergi ini adalah dari CPO sawit. Pulau Kalimantan memang sangat kaya.

Rabu, 15 Oktober 2014

Anjuran Berwasiat Dengan Persaksi

5. Al Maa'idah
 106. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa."
[454]. Ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi
42. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram[418]. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
[418]. Seperti uang sogokan dan sebagainya
Sumpah dan kaffaratnya

89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).


Konsep Akal dalam Epistemologi Ibn Thufail

"sesungguhnya, dalam (proses) penciptaan langit dan bumi dan (proses) pergantian siang dan malam, adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi ulil albab (orang-orang yang berfikir)
(QS 3:190)
"Alam yang tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata pikiran
memandanglah kedalamnya.(Uber Sokrates)

  1. Pendahuluan

Berfikir, yang adalah suatu proses olah nalar, yang secara essensi adalah agamawi, merupakan suatu proses sunnatullah, yang sudah ada benihnya sejak awal, ketika manusia dihadirkan di bumi. Akal yang merupakan anugerah termahal yang diberikan  khusus oleh Allah kepada manusia yang tidak diberiakan pada makhluk lainnya, adalah agar manusia mampu membaca dan memikirkan segala kejadian dan tanda-tanda kekuasaan Allah.[1]
Islam sendiri memberikan kedudukan tinggi kepada akal, karena akal hanya dimiliki oleh manusia, dan manusia adalah ciptaan terbaik Allah. Allah memerintahkan manusia untuk selalu menggunakan akalnya untuk menyikapi dan membaca tanda-tanda kekuasaan-Nya.[2]
            Dan banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an  yang memberikan sugesti dan peringatan kearah pemaksimalan penggunaan akal untuk kemudian sebagi alat handal yang mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Permasalahan ini sudah banyak tanggapan dari para filosof Yunani tentang hakekat dan kegunaan akal itu sendiri serta bagaimana seharusnya manusia menyikapi akal agar mendapatkan Ilmu pengetahuan yang orisinal dan ilmiah dan tidak ketinggalan pula di dunia Timur, masalah ini juga menjadi perdebatan sengit di kalangan filosof muslim. Dimana diantaranya adalah filosof Andalusia yaitu Ibn Thufail, yang telah menjelaskan – secara implisit – dalam karyanya yang terkenal yaitu hay ibn Yaqdzan, yang kemudian akan dibahas secara rinci dan mendetel konsep dan pikirannya tentang akal sebagai sebuah refleksi ontologis tanpa mengurangi keobjektipan dan oresinalitas pemikirannya, dan dalam makalah ini penulis juga akan memformulasikan pemikiran Ibn Thufail dengan pemikiran tokoh sebelumnya dan tokoh yang banyak mempengaruhi pemikirannya. Sehingga akan dapat mengambil sebuah kesimpulan yang tepat dan ilmiah. Karena penulis yakin bahwa bagaimanapun juga pemikiran seseorang tentang suatu konsep mesti ada pengaruh dari pemikiran tokoh sebelumnya, maka dari itu sudah menjadi keharusan untuk menyisipi pemikiran tokoh yang representative dan mendukung terhadap penulisan konsep dan pemikiran Ibn Thufail tentang akal.

  1. Biografi Singkat Ibn Thufail
Nama lengkap Ibn thufail adalah Abu Bakr Muhammad ibn 'Abdul Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-Andalusi al-Qoisi.[3] Ia lahir pada tahun 506 H/1110 M. [4]  di wadi Asy.[5] Yaitu sebuah kota kecil di Andalusia. Pada masa mudanya beliau tidak terlalu nampak dan terpopuler seperti tokoh lainnya karena ia otodidak yang berbakat. Pada awalnya beliau menekuni ilmu kedokteran dan memiliki banyak tulisan dibidang ini, namun juga banyak yang hilang.[6] Selain sebagai seorang dokter ia juga sebagai seorang filosof, ahli matematika dan ahli penyair yang terkenal dari Muwahid Sapyol. Untuk mengembangkan karirnya di bidang kedokteran Ibn Thufail menjalin hubungan baik dengan kholifah  kerajaan Muwahhidin, dan diangkat menjadi dokter probadinya sejak tahun 588-580 H. dan khalifah Ya'kub berhubungan erat dengan para filosof – dan meminta ibn Thufail untuk menguraikan buku-buku Aristoteles. Untuk memenuhi tugas tersebut ia merekomondasikan ibn Rusdy  untuk pekerjaan ini – dan ia diterima dengan baik. Ketiaka Ibn Thufail meninggalkan jabatannya sebagai dokter pribadi Khalifah, maka jabatan itu digantikan oleh ibn Rusdy.  Banyak sekali karya-karya ibn Thufail tentang bidang keilmuan yang digelutinya, namun yang tertinggal dan sampai pada tangan kita saat ini hanya karya roman fiktif yang berjudul hayy ibn Yaqdzan. Di sinilah inb Thufail mencurahkan pikirannya tentang akal dengan mengampil tokoh; hayy ibn Yaqdzan.  Yang kemudian nanti penulis bahas pikiran-pikirannya dalam karyanya  ini.
Setelah khalihaf Ya'kub meninggal dan di gantikan oleh putranya, yaitu Abu Yusuf, namun  hubungan kekeluargaan antara mereka tetap terjaga, hal itu terbukti ketika abu Yusus menghadiri pemakaman Ibn Thufail di Maroko.

  1. Konsep "Akal" menurut Ibn Thufail dalam karya " hayy ibn Yaqdzan"
Ada  keunikan tersendiri dalam diri ibn Thufail dan meng-konsepsikan akal yaitu mengekplorasikan secara simbolik dalam roman filosofis fiktif hayy ibn Yaqdzan dengan dibentuk sebuah cerita yang mengandung pesan dan kisah tengatang  hayy ibn Yaqdzan sebagai seorang tokoh yang dilambangkan sebagai akal pikiran sedangkan teman-temannya sebagai selera syahwat, perasaan marah dan tabiat-tabiat lainnya yang lazim ada pada manusia.[7]
Dalam bukunya itu ibn Thufail memposisikan Hayy ibn Yaqdzan  sebagai akal faal atau jiwa suci yang berfikir dan akal yang tetap hidup, dan tidak pernah cacat. Walaupun ibn Thufail tidak menkonsepsikan secara gamlang  tentang akal, namun bisa dilihat dari kecenderungannya dalam mengagumi tokoh seperti ibn Bajjah, aristoteles, dan lainnya hingga dapat ditarik kesimoulan bahwa yang dimaksud akal menurut ibn Thufail adalah al-quwwat an-nathiqoh,  yaitu daya jiwa yang berfikir, bersifat dinamis, mengandung unsure ketuhanan dan kekal, walaupun jasad hancur. Jadi akal yang dimaksud ibn Thufail adalah gerak jiwa yang dinamis, bukan statis, yang dapat dikomunikasikan dengan dunia materi.[8]
Dari synopsis karya ibn Thufail itu dapat ditarik kesimpulan bahwa akal menepati peranan penting dalam kehidupan kita dan menempati diposisi paling tinggi.  Hal itu tercermin dari seorang sosok hayy ibn Yaqdzan yang dengan keterasingannya dari masyarakat dan tanpa sentuhan pengalama-pengalaman akademis dan ajaran-ajaran dari luar, ia mampu memahami kebenaran, dan mampu memahami kematian rusa yang tanpa sebab serta mampu mengetahui Realitas Yang Maha Tertinggi. Dengan demikian akal merupakan sumber dari ilmu – ilmu  pengetahuan  yang  merupakan produk dari kegiatan berfikir dan obor yang menerangi kehidupannya.
Bagi ibn Thufail ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dengan indera, karena pengetahuan bukan hanya proses pemahaman saja.[9]  Dan pada sisi lain di sebutkan bahwa hayy ibn Yaqdzan  akhirnya mencapai pada pengetahuan tentang wujud Mutlak yang sepenuhnya bersifat immaterial. Dengan kejernihan, keluhuran dan ketidak fanaan jiwanya yang juga terkandung di dalamnya essensi dirinya.  Yang kemudian ditemukan tiga akibat dari tiga karakter manusia. Pertama: akibat karakter impulsive dan kebinatangannya, kedua: akibat dengan spritualnya, mampu berhubungan dengan yang di langi, dan ketiga: akibat kekudusan jiwanya, manusia berhubungan dengan Wujud Mutlak.[10]
Dalam gerak yang lebih dalam lagi akal sanggup untuk mencapai sesuatu yang tak berawal dan tak berakhir yang meliputi segalanya, yang dalam gerak hendak memperlihatkan dirinya itu berbagai pengertian tentang kesudahan adalah momen saja. Oleh karena itu watak daras akal itu tidak satatis, tetapi dinamis, beragerak dan menampakkan inti tak berawal dan tak berakhirnya itu pada waktunya.

  1. Konsep Keharmonisan Akal dan Wahyu
Masalah akal sudah banyak mengundang perdebatan antar filosof muslim, dimana hal itu juga banyak mengundang perbedaan pendapat. Begitu pula dengan konsep wahyu, namun para filosof berkeyakinan bahwa antara akal-dan wahyu ada keserasian dan keharmonisan. Begitu juga menurut ibn Thufail, adalah penulis roman hayy ibn Yaqdzan yang terkandung di dalamnya tentang keharmonisan antara akal dan wahyu.
Sebagaiman yang telah di jelaskan di atas bahwa akal menurut ibn Thufail adalah daya berfikir (al-Quwwah an-natiqah), yang dengan sendirinya mampu memahami kebenaran, yang mana tokohnya adalah hayy ibn Yaqdzan sedangkan wahyu adalah pengetahuan Tuhan yang di sampaikan kepada para nabi, kemudian diteruskan kepada manusia sebagai pegangan hidup, dan tokohnya adalah Absal.
Permasalahan pokok yang berkembang pada pembahasan ini yaitudaya jangkau akal dan fungsi wahyu terhadap permasalahan pokok agama yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.  Dan dari dua masalah pokok ini menjadi empat inti pokok yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui-Nya, serta mengetahu perbuatan baik dan jahat serta kewajiban mengetahuinya. Permasalahan ini banyak mengundang pertentangan antara aliran teologi Islam.[11] Namun sikap ibn Thufail dalam menanggapi masalah di atas sangat bijaksana, walaupun ia menempatkan akal pada posisi paling atas namun ia juga hidup di budaya wahyu,  yang nantinya akan ditemukan keharmonisan antara keduanya dalam karyanya, yang melambangkan akal dengan hayy ibn Yaqdzan dan wahyu dengan Absal, yang kedua bertemu di titik yang sama yaitu kebenaran.
Jadi antara akal dan wahyu terdapat hubungan yang erat. Kehadiran wahyu merupakan suatu pelengkap dan petunjuk bagi akal.  Adapun pengetahuan yang diperoleh akal dengan pengetahuan yang diperoleh wahyu, menurutnya pengetahuan yang diperoleh akal di bawah pengetahuan yang  diperoleh wahyu, karena pada dasarnya wahyu diturunkan sebagai petunjuk, dan kebenaran akal bersifat relative sedangkan kebenaran wahyu bersifat mutlak.

  1. Kesimpulan
Dari  pemaparan konsep akal dan relevansinya akal dengan wahyu yang digambarkan oleh ibn Thufail dan karya Roman fiktifnya " hayy ibn Yaqdzan" dapat ditarik kesimpulan sebagai beriku:
a.       Menurut ibn Thufail akal adalah al-quwwah an-natiqoh, jiwa yang berfikir atau daya insani yang brsifat dinamis dan selalu berfikir dan berdzikir untuk memahami realitas alam dan dirinya sehingga mencapai pada tingkat yang lebih tinggi yaitu mengetahui Yang Mutlak.
b.      ibn thufail berpendapat bahwa Ada keharmonisan dan hubungan erta yang tidak dapat dipisahkan antara akal dan wahyu, dimana antara satu dan lainnya saling memenuhi, seperti kerelatifan akal dalam memperoleh pengetahuan membutuhkan bimbingan wahyu untuk mengecek pada dataran kebenaran.




DAFTAR PUSTAKA

Kant mengatkan yang dikutip oleh C. A van Peurson,  Orintasi di AAlam Filsafat, Dick Handoko, pen, Jakarta: PT. Gramedia, 1988, hlm. 25.

Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta kronologis, Bandung: Mizan, 2002,
Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 86.

Ahmad Fuad al-Ahwani. Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 73. terj. Pustaka Firdaus.

Bakhtiar Husain Siddiqy, "Ibn Thufail" dalam M. M Syarif, ed., Para Filosof Muslim, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1985, hlm 173.

Wadi Asy Juga Disebut Oleh De Boer Sebagai Qadis Atau Guadix.
A M   Syaifuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1998. hlm. 32-33.








[1]   A. M.    Syaifuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1998. hlm. 32-33.
[2]   Untuk lebih jelasnya perintahtah Allah atas penggunaan akal dan keharusan manusia sebagai makhluknya untuk memanfaatkannya lihat  terjemahan al-Qur'an (QS 16:11) dan QS 16:12)
[3]  Ahmad Fuad al-Ahwani. Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 73. terj. Pustaka Firdaus.
[4]  Bakhtiar Husain Siddiqy, "Ibn Thufail" dalam M. M Syarif, ed., Para Filosof Muslim, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1985, hlm 173.
[5] Wadi Asy juga disebut oleh De Boer sebagai Qadis atau Guadix.
[6]  Ahmad Fuad al-Ahwani, loc. cit
[7]  dalam leteratur lain, dijelaskan bahwa hayy ibn Yaqdzan dilambangkan sebagai anak manusia yang dengan akalnya dan dibarengi dengan kesucian jiwanya, ia mampu membedakan yang baik dan yang buruk, dan mampu memecahkan masalah dalam kehidupan, hingga pada puncaknya mampu menemukan al-haqiqat al-'Ulya.
[8]  Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 86.
[9]  Kant mengatkan yang dikutip oleh C. A van Peurson,  Orintasi di AAlam Filsafat, Dick Handoko, pen, Jakarta: PT. Gramedia, 1988, hlm. 25. "Akal budi tak dapat menyerap sesuatu dan panca indra tak dapat memikirkan sesuatu; hanya bila kedua-duanya bergabung timbullah pengetahuan, mencerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebetulan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan"
[10] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta kronologis, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 105. terj. Zaimul Am. Dan Dari ketiga akibat itu ada tiga tugas pula yang harus di jalaninya: pertama: sebagai bagian dari binatang ia harus memenuhi kebutuhan fisiknya agar bisa bertahan sehingga mampu mewujudkan tujuan utamanya, yakni merenungi Tuhan, kedua: sebai makhluk spiritual dan intektual ia harus merenungi keindahan dan keteraturan alam, dam ketiga: sebagai makhluk yang dekat dengan Tuhan maka ia dalam berkontemplasi sadar akan keterbatasannya, karena jiwa dalam hal itu takkan bisa menghilangkan kesadarannya tentang identitas dirinya dan keakuannya.
[11] Menurut Mu'tazilah keempat permasalahan di atas dapat diketahui oleh akal, sedangkan As-Ariyah berpendapat bahwa hanya satu diantara keempat permasalahan di atas yang dapat diketahu oleh akal yaitu yaitu adanya Tuhan sedangkan ketiganya dapat diketahui melalui wahyu. Dan sangat tanpak bahwa Mu'tazilah memberikan porsi teratas pada akal, karena baginya bahwa akal mampu mengetahuinya walaupun tanpa bantuan wahyu.